"Artinya dari kenaikan harga pertalite dan solar, akan menyumbang (kenaikan) inflasi sampai 1,97 persen. Padahal inflasi pada Juli 2022 sudah mencapai 5,2 persen secara tahunan (yoy), sehingga total inflasi bakal mencapai 7,17 persen, jauh lebih tinggi dibanding inflasi pada 2021 yang hanya di kisaran tiga persen yoy," tutur Fahmy.
Dengan asumsi perhitungan tersebut, Fahmy menjelaskan bahwa posisi inflasi sebesar 7,17 persen bakal memperpuruk daya beli dan konsumsi masyarakat, sehingga berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi yang sudah dicapai dengan susah payah sebesar 5,4 persen.
Selain itu, inflasi sebesar 7,17 persen juga dapat mendongkrak harga-harga kebutuhan pokok yang tentunya bakal lebih memperberat beban masyarakat, terutama rakyat miskin. Bahkan, rakyat miskin yang tidak pernah menikmati subsidi BBM lantaran tidak punya kendaraan bermotor juga harus berkorban akibat penaikan harga BBM Subsidi.
"Dalam berbagai kesempatan Pak Jokowi mengatakan bahwa opsi kebijakan yang akan dipilih terkait subsidi BBM adalah tidak memberatkan beban rakyat miskin. Berdasarkan pernyataan ini pada dasarnya sudah menjadi isyarat bahwa Pak Jokowi tidak akan menaikkan harga BBM Subsidi dalam waktu dekat ini, karena pertaruhannya cukup besar," ungkap Fahmy.
Memang diakui Fahmy, beban APBN untuk subsidi energi saat ini semakin membengkak hingga mencapai Rp502,4 triliun. Namun perlu diingat bahwa beban subsidi sebesar itu merupakan total dari seluruh anggaran subsidi energi, yang terdiri dari subsidi BBM, LPG 3Kg, dan listrik. Membengkaknya anggaran itu diperhitungkan berdasarkan beberapa asumsi, yaitu dinamika harga minyak dunia, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat, dan inflasi.