Kebijakan tersebut juga merupakan bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui penurunan prevalensi merokok, khususnya usia 10-18 tahun yang ditargetkan menjadi 8,7% di 2024. Selain itu, pengenaan cukai juga ditujukan untuk menurunkan konsumsi rokok di kelompok masyarakat miskin yang mencapai 11,6 hingga 12,2% dari pengeluaran rumah tangga.
"Kalau konsumsinya makin naik, maka ada hubungannya itu pasti dengan kesehatan. Dunia internasional mengakui itu. Ini aspek konsumsi," ujar Suahasil.
Aspek kedua adalah aspek produksi yang berkaitan dengan keberlangsungan tenaga kerja. Kebijakan cukai juga mempertimbangkan dampak terhadap petani tembakau, pekerja, serta industri hasil tembakau secara keseluruhan.
"Perusahaan rokok yang memproduksi hasil tembakau itu punya kaitan dengan ketenagakerjaan. Apalagi untuk industri hasil tembakau Indonesia yang bahkan ada segmen dikerjakan dengan tangan. Pasti ada hubungannya itu dengan penyerapan tenaga kerja kita, employment creation kita," jelas dia.
Aspek ketiga adalah terkait penerimaan negara. Kebijakan cukai mendukung program pembangunan nasional melalui penerimaan negara. Pada 2021, penerimaan negara dari cukai mencapai Rp188,8 triliun.