IDXChannel - Pemerintah memutuskan menaikkan cukai rokok dengan kenaikan rata-rata sebesar 10% yang berlaku untuk 2023 dan 2024. Pengumuman itu menandai untuk pertama kalinya, kenaikkan cukai rokok untuk dua tahun sekaligus.
Tarif tersebut ditujukan untuk sigaret kretek mesin (SKM) 1 dan 2 yang rata-rata meningkat 11,75 hingga 11,5%, sigaret putih mesin (SPM) 1 dan 2 naik 12 hingga 11,8%, sedangkan sigaret kretek tangan (SKT) 1, 2, dan 3 naik sebesar 5%.
Artinya, kenaikan 10% akan diterjemahkan menjadi kenaikan rata-rata di setiap golongan.
Staf Khusus Menteri Keuangan, Candra Fajri Ananda, menjelaskan keputusan menaikkan cukai untuk dua tahun sekaligus menimbulkan kepastian berusaha di tengah ketidakpastian ekonomi dunia.
"Kenaikan tarif cukai yang terus berubah setiap tahun menimbulkan kebingungan bagi pelaku industri, salah satunya kesulitan pengusaha untuk memproyeksikan bisnisnya dalam jangka panjang," tulis dia dikutip Sindonews, Senin (12/12/2022).
Sehingga, kebijakan ini diharapkan memberikan kepastian berusaha bagi industri, mengingat selama ini hampir setiap tahunnya penentuan tarif cukai kerap menimbulkan polemik.
Sementara itu, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan penetapan kebijakan cukai rokok selalu mempertimbangkan empat aspek penting.
"Kebijakan mengenai cukai rokok itu selalu menyeimbangkan empat aspek. Ini selalu kita coba balance setiap kali kita membicarakan mengenai kebijakan cukai rokok. Ini adalah basic filosofi dari penetapan kebijakan cukai rokok setiap tahun," kata Wamenkeu dalam Media Gathering Kementerian Keuangan Tahun 2022 di Aula Mezzanine, Kemenkeu, Jakarta pada Jumat (4/11/2022).
Pertimbangan pertama adalah pengendalian konsumsi yang memiliki kaitan dengan kesehatan. Pengenaan cukai ditujukan sebagai upaya pengendalian konsumsi sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Cukai.
Kebijakan tersebut juga merupakan bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui penurunan prevalensi merokok, khususnya usia 10-18 tahun yang ditargetkan menjadi 8,7% di 2024. Selain itu, pengenaan cukai juga ditujukan untuk menurunkan konsumsi rokok di kelompok masyarakat miskin yang mencapai 11,6 hingga 12,2% dari pengeluaran rumah tangga.
"Kalau konsumsinya makin naik, maka ada hubungannya itu pasti dengan kesehatan. Dunia internasional mengakui itu. Ini aspek konsumsi," ujar Suahasil.
Aspek kedua adalah aspek produksi yang berkaitan dengan keberlangsungan tenaga kerja. Kebijakan cukai juga mempertimbangkan dampak terhadap petani tembakau, pekerja, serta industri hasil tembakau secara keseluruhan.
"Perusahaan rokok yang memproduksi hasil tembakau itu punya kaitan dengan ketenagakerjaan. Apalagi untuk industri hasil tembakau Indonesia yang bahkan ada segmen dikerjakan dengan tangan. Pasti ada hubungannya itu dengan penyerapan tenaga kerja kita, employment creation kita," jelas dia.
Aspek ketiga adalah terkait penerimaan negara. Kebijakan cukai mendukung program pembangunan nasional melalui penerimaan negara. Pada 2021, penerimaan negara dari cukai mencapai Rp188,8 triliun.
Kemudian, aspek keempat yakni terkait pengawasan barang kena cukai (BKC) ilegal. Semakin tinggi cukai rokok, maka akan semakin tinggi kemungkinan beredar rokok ilegal yang saat ini telah mencapai 5,5%.
“Jadi penting kita melakukan mitigasi yang berkelanjutan, terus-menerus, atas kebijakan yang punya potensi mendorong hasil tembakau yang sifatnya illegal," kata dia.
"Rokok ilegal atau hasil tembakau ilegal itu dari segala macam, dari yang diproduksi bukan dari yang benar. Diproduksi lalu kemudian menggunakan tidak menggunakan pita cukai. Ada juga yang pakai pita cukai tapi pita cukainya salah kategori. Ada juga yang kandungannya kemudian tidak sesuai dengan syarat-syarat," papar Suahasil.
Adapun Dana Bagi Hasil Cukai, lanjut Suahasil, harus fokus digunakan perbaikan kesehatan, seperti perbaikan Puskesmas dan Posyandu, penanganan stunting, perbaikan kesejahteraan petani dan buruh, serta pemberantasan rokok ilegal.
"Di sisi lain, impor tembakau akan diatur dan dibatasi untuk melindungi petani tembakau dalam negeri. Kebijakan tersebut diharapkan dapat menyeimbangkan berbagai tujuan yang sangat penting bagi masyarakat dan perekonomian Indonesia," pungkasnya. (NIA)