IDXChannel - Indonesia sedang mempelajari pembentukan kartel yang juga digunakan oleh grup negara eksportir minyak, Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC), untuk nikel dan logam baterai utama lainnya.
Melansir Financial Times (FT), ide ini menyusul peningkatan tren geopolitik di negara-negara yang kaya akan sumber daya yang dibutuhkan untuk membuat kendaraan listrik.
Bahlil Lahadalia, selaku Menteri Investasi RI, mengatakan pihaknya sedang melihat mekanisme yang serupa dengan yang digunakan oleh OPEC. Mengingat nikel merupakan pasokan logam utama yang dapat dimanfaatkan untuk yang penting bagi transisi energi.
“Saya melihat manfaat kartel OPEC dalam mengelola perdagangan minyak untuk memastikan prediktabilitas bagi calon investor dan konsumen. Indonesia sedang mempelajari kemungkinan untuk membentuk struktur tata kelola yang serupa terkait dengan mineral yang kita miliki, termasuk nikel, kobalt, dan mangan,” katanya dalam sebuah wawancara, mengutip FT (31/10)
Indonesia adalah produsen nikel terbesar di dunia dengan kontribusi 38% pasokan global, berdasarkan data konsultan berbasis di Inggris CRU Group. Angka ini disebut menguasai seperempat dari cadangan logam nikel dunia.
Data dari U.S. Geological Survey, Mineral Commodity Summaries pada Januari lalu menunjukkan produksi nikel Indonesia mencapai 1 juta metrik ton dengan cadangan mencapai 21 juta metrik ton. Indonesia menduduki peringkat teratas baik dalam hal cadangan maupun produksi nikel. (Lihat grafik di bawah ini)
Ketika dikonfirmasi apakah telah menghubungi produsen nikel besar lainnya tentang ide kartel ini, Kementerian Investasi mengatakan masih merumuskan struktur yang dapat diusulkan.
Kartel OPEC Dalam Sejarah Minyak Dunia
Dalam ilmu ekonomi, kartel didefinisikan sebagai suatu hubungan adanya kerjasama atau kolusi antara beberapa kelompok produsen atau perusahaan dalam produksi barang. Kartel bertujuan untuk menetapkan harga dan membatasi penawaran dan persaingan.
Berdasarkan hukum anti monopoli, kartel dilarang di hampir semua negara. Namun, praktek ini masih terjadi jika menyangkut sumberdaya penting dan kompleks, seperti minyak.
Industri yang terdiri dari beberapa perusahaan besar, memiliki biaya awal yang tinggi, dan memproduksi barang yang tidak terlalu rumit cenderung berkolusi pada harga dan produksi.
Secara historis, kartel telah ada di industri baja, transportasi kereta api, hingga vitamin. Di era modern, OPEC sering digunakan sebagai contoh kartel. Meskipun masih mengundang perdebatan, negara-negara anggota OPEC memang memiliki pengaruh pasar signifikan.
Selama ini, OPEC berfokus mengendalikan produksi minyak untuk mempengaruhi harga.
Dalam sejarahnya, sebelum OPEC, pasar minyak didominasi oleh tujuh perusahaan minyak raksasa yang dikenal sebagai Seven Sisters pada dekade 1920-an hingga 1970-an.
Seven Sisters ini di antaranya Standard Oil Company yang berganti menjadi Exxon pada tahun 1972. Ada juga Socony-Vacuum Oil Company, yang menjadi Socony Mobil pada tahun 1955 dan Mobil pada tahun 1966.
Selanjutnya, Standard Oil Company of California, yang berganti nama menjadi Chevron. Ada juga Perusahaan Texas, yang menjadi Texaco pada tahun 1959. Perusahaan Minyak Gulf yang dibeli Chevron pada 1984. Pada 1998 Exxon dan Mobil bergabung dan ExxonMobil seperti sekarang.
Dua sisanya adalah Anglo-Persian Oil Company, yang berganti nama menjadi Anglo-Iranian pada tahun 1935 dan menjadi British Petroleum (BP) pada tahun 1954 dan Royal Dutch Shell.
Pemerintah Inggris sebelumnya memegang saham mayoritas BP dari 1914 hingga 1980-an, ketika pemerintah Margaret Thatcher menjual sahamnya kepada investor swasta.
Adapun Royal Dutch Shell memiliki kantor pusat operasi dan komersial di London dan dianggap sebagai perusahaan Inggris, meskipun kepemilikannya dibagi antara Belanda memegang 60% saham dan Inggris 40% saham.
Seven Sisters ini disebut berkolusi untuk memanipulasi harga dan produksi, bahkan memasok permintaan langsung dari Pemerintah AS dan kerap melanggar antitrust law.
Setelah Perang Dunia II, Seven Sisters menghadapi ancaman nasionalisasi produksi minyak dan kemudian setuju untuk membagi keuntungan minyak 50:50 dengan negara-negara pengekspor minyak.
Namun, karena persaingan dari minyak Rusia meningkat, Standard Oil of New Jersey (Exxon) menyimpulkan bahwa mereka perlu menurunkan harga minyak secara drastis.
Pada tahun 1960, sebagai respon terhadap penurunan harga, negara-negara pengekspor minyak membentuk OPEC untuk mengurangi pengaruh perusahaan minyak multinasional.
Mampukah Indonesia Membangun Kartel Nikel?
Menurut FT, setiap upaya pembentukan kartel untuk mengendalikan harga nikel global akan menemui jalan terjal.
Saat ini, Rusia memasok seperlima dari nikel dengan tingkat kemurnian tinggi yang digunakan dalam industri baterai.
Sementara, Australia juga masuk dalam daftar produsen terbesar. Adapun, Indonesia diperkirakan akan menjadi sumber pertumbuhan terbesar industri ini di tahun-tahun mendatang karena jumlah cadangannya yang jumbo.
Namun, salah satu persoalan besarnya adalah ketergantungan Indonesia pada perusahaan asing seperti Tsingshan Holding Gropu, BUMN milik China, produsen baja nirkarat terbesar di dunia, dan PT Vale Indonesia Tbk, yang merupakan bagian dari Vale S.A Brasil untuk mengekstraksi nikel RI.
Terlepas dari kekayaan mineral Indonesia, perannya dalam memasok bahan baku baterai kendaraan listrik akan menuai tantangan dari aspek keterlibatan perusahaan China dan tantangan ramah lingkungan karena ketergantungan pada pembangkit listrik berbahan bakar batu bara.
Data juga menunjukkan bahwa China telah menggandakan investasi di Indonesia pada paruh pertama 2022 menjadi USD3,6 miliar dari tahun sebelumnya yang berjumlah USD3,1 miliar.
Dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, investasi China meningkat dan berfokus pada pembangunan smelter nikel. (Lihat grafik di bawah ini)
Frank Fannon, direktur pelaksana Fannon Global Advisors dan mantan asisten menteri luar negeri AS untuk sumber daya energi, mengatakan kartel gayaOPEC untuk logam baterai ini berpotensi akan ‘membekukan’ investasi barat di sektor nikel Indonesia.
Sementara itu, di antara negara-negara OPEC yang kuat, seperti Arab Saudi, produksi minyak didominasi oleh perusahaan negara.
Jika ingin mengikuti jejak OPEC, organisasi ini ditopang oleh jam terbang dan sejarah yang amat kokoh dalam mengendalikan pengaruhnya terhadap harga minyak dunia. Namun, Indonesia belum memiliki track record tersebut.
Indonesia dulunya merupakan anggora OPEC, tetapi kemudian menangguhkan keanggotaannya karena kekhawatiran tentang dampak harga minyak yang tinggi terhadap ekonomi nasional pada dekade 80-an.
Akibatnya, Indonesia menjadi net importir minyak sejak tahun 2004.