sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Kebal Resesi, Millenial dan Gen Z Korea Selatan Doyan Belanja Barang Mewah

Economics editor Maulina Ulfa - Riset
30/01/2023 16:33 WIB
Meski gemar barang mewah, utang rumah tangga Korea Selatan lebih tinggi daripada Jepang, Inggris, dan AS.
Kebal Resesi, Millenial dan Gen Z Korea Selatan Doyan Belanja Barang Mewah. (Foto: Louis Vuitton)
Kebal Resesi, Millenial dan Gen Z Korea Selatan Doyan Belanja Barang Mewah. (Foto: Louis Vuitton)

Selebriti seperti aktris Squid Game, Hoyeon Jung menjadi duta brand Louis Vuitton dan Bentley. Beberapa anggota girl band Blackpink juga menjadi duta merk terkemuka seperti Chanel, Bulgari, Cartier dan Tiffany & Co.

Teranyar, brand Dior mengumumkan salah satu member BTS, Jimin sebagai duta global.

Selain itu, menurut laporan Morgan Stanley, warga Korea Selatan mendewakan penampilan selain pengeluaran untuk barang-barang mewah juga untuk operasi plastik.

Bagi produsen barang mewah layaknya LVMH, dengan populasi hanya 51 juta jiwa, Korea Selatan kini sama pentingnya dengan Jepang yang berpenduduk 125 juta jiwa.

Warga negara Korea Selatan menyumbang lebih dari 10% dari total penjualan ritel merk mewah seperti Prada, Moncler, Bottega Veneta, dan Burberry Group.

“Mengenai status, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa kesuksesan finansial cenderung dihargai tinggi di Korea Selatan, jadi barang mewah pribadi bisa menjadi alat penting untuk menciptakan stratifikasi sosial,” kata Morgan Stanley.

Sebagai perbandingan, di China, pengeluaran barang mewah mencapai sekitar USD55 per orang, tambah laporan itu.

Namun, beberapa kondisi ekonomi perlu diwaspadai, termasuk ancaman hutang rumah tangga yang mengintai.

Utang rumah tangga Korea Selatan lebih tinggi daripada Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat. Sementara Bank Sentral Korea baru-baru ini telah meningkatkan suku bunga utamanya menjadi 3,5% dari level terendah 0,5% pada Juli 2021. Kondisi ini membawa era uang murah segera berakhir.

Sementara itu, harga real estat di Korea Selatan juga turun paling tinggi secara global pada kuartal ketiga tahun 2022.

“Ledakan seperti ini tidak akan berlangsung selamanya, dan kita mungkin melihat sesuatu yang mirip dengan apa yang terjadi pada tahun 1990-an di Jepang, yaitu apa yang disebut sebagai ledakan gelembung ekonomi,” kata Dr Lee. (ADF)

Halaman : 1 2 Lihat Semua
Advertisement
Advertisement