"Jika digabung dengan subsidi tahun ini, total biaya subsidi dan nilai impor tersebut mencapai Rp833,8 triliun," Ifan memaparkan.
Besaran tersebut sangat signifikan karena mencerminkan devisa yang hilang serta opportunity loss yang subtansial, terutama apabila dapat digunakan untuk pembangunan dan pengembangan jargas kota.
Tanpa ada perubahan signifikan dalam kebijakan jargas, subsidi LPG akan terus membebani anggaran Pemerintah ke depannya.
Sebagai ilustrasi, Ifan mencontohkan, apabila 50 persen dari total akumulasi dana subsidi LPG digunakan untuk pembangunan jargas kota, dengan asumsi satu sambungan rumah (SR) senilai Rp10 juta, maka dapat dibangun 23 juta SR dalam periode lima tahun.
Tidak hanya ini akan melewati target RPJMN, peralihan ini juga akan berdampak signifikan terhadap penurunan impor LPG dan penghematan devisa bagi negara.
Ifan berpendapat, skema jargas dapat dikembalikan lagi ke skema APBN yang pernah dilaksanakan sejak 2011-2019 dan berhasil mencapai sekitar 600 ribu SR. Serta menyetop penggunaan APBN untuk pembangunan pipa transmisi yang tidak ekonomis secara sisi permintaan, seperti Cisem, Dumai-Semangke, atau ruas lainnya.
“Ruas-ruas tersebut berdekatan dengan industri, antara lain Kawasan Industri Kendal, Kilang Batang, Kilang Balongan, dan Kilang Patimban, sehingga dipastikan akan menarik banyak minat investasi BUMN, BUMD, atau swasta untuk pembiayaan pembangunannya. Jadi APBN dapat digunakan pada proyek strategis nasional yang lebih tepat untuk mewujudkan energi berkeadilan," jelas Ifan.