Namun sayang, dia mengakui, realisasi jargas sampai dengan 2024 hanya mencapai 20 persen dari target APBN. Hal ini disebabkan kebijakan monopoli kepada PT Pertamina Gas Negara Tbk atau PGN (PGAS) yang tidak membuka dan berhasil melibatkan BUMD dan swasta untuk melakukan investasi di jargas kota.
"Keterbatasan jaringan pipa gas mengakibatkan konsumen bergantung pada LPG khususnya kemasan 3 kg," ujar Ifan.
Data menunjukkan, konsumsi LPG 3 kg terus meningkat setiap tahun, sementara LPG (non subsidi) stagnan dan cenderung turun dan terindikasi beralih ke LPG bersubsidi.
Tercatat, tingkat konsumsi LPG 3 kg meningkat dari 6,8 juta Metrik Ton (MT) di 2019 menjadi 8,07 juta MT di 2023. Naik 3,3 persen secara rata rata dalam lima tahun terakhir.
Sejalan dengan hal tersebut, biaya subsidi LPG 3 kg terus meningkat (rata rata tumbuh 16 persen selama lima tahun), dari Rp54,1 triliun pada 2019 menjadi Rp117,8 triliun di 2023.
"Tahun ini, terdapat alokasi subsidi LPG sebesar Rp87,5 trilliun. Sehingga sejak 2019, total subsidi yang diberikan pemerintah untuk gas sudah mencapai Rp460,8 triliun," tutur Ifan.
Dengan fakta bahwa mayoritas LPG berasal dari impor, maka dapat diperkirakan total nilai impor LPG selama periode 2019-2023 mencapai Rp288 trilliun.
Dengan membandingkan total biaya subsidi LPG dalam periode yang sama (yakni sebesar Rp373 trilliun), maka rasio biaya impor LPG mencapai 77 persen dari total subsidi LPG.