Ekonomi Myanmar mulai bersemi sekitar satu dekade lalu, ketika para jenderal mengendurkan cengkeraman mereka di negara itu setelah hampir 50 tahun masa kekuasaan militer. Kemajuan itu hanya singkat setelah kembalinya militer pada bulan Februari.
Keyakinan pada pemerintah dan swasta bank telah menguap dengan kudeta dan pembunuhan setidaknya 945 orang, sebagian besar dari mereka ditembak oleh tentara selama demonstrasi.
Gerakan protes anti-kudeta dan pemogokan umum telah melumpuhkan sebagian besar perekonomian, termasuk menutup hampir semua cabang bank negara di bulan pertama setelah pengambilalihan militer. Kesalahan akibat junta, seperti membatasi pembayaran via internet, telah turut menimbulkan krisis.
Pada pertengahan bulan Maret, rezim mencoba untuk memadamkan gerakan ketidakpatuhan sipil dengan mematikan internet. Ini menghilangkan transfer bank yang populer dan cashless untuk melakukan pembayaran.
"Ketika bank ditutup, ada ketakutan masyarakat tidak bisa mendapatkan uang tunai," kata Vicky Bowman, direktur pusat nirlaba Myanmar untuk bisnis yang bertanggung jawab dan mantan duta besar Myanmar dari Inggris. "Lalu, pemerintah memperparahnya dengan mematikan internet. Yang meningkatkan hasrat untuk memiliki uang tunai,” katanya.
Para pemegang rekening di cabang Bank Kanbawza di Mandalay membuat tebakan beruntung ketika mereka berbaris sebelum fajar. Para pekerja tiba larut pagi itu dan mengisi mesin dengan Kyat. 38 orang pertama dalam barisan mendapat uang. Ketika May Thway Chel, pelanggan ke-39, mencapai ATM, uang tunai sudah habis.