IDXChannel - Pemerintah memastikan bakal menggunakan dana fiskal dalam Anggaran Pendapatan dan Pendapatan Negara (APBN) dalam menghentikan operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara.
Langkah tersebut merupakan bagian dari program transisi energi, di mana pemerintah secara bertahap bakal menghentikan penggunaan energi fosil, dan menggantinya dengan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT).
Namun, kebijakan penggunaan dana APBN untuk proyek pensiun dini PLTU berbahan bakar batu bara tersebut mendapat kritikan, lantaran dianggap berpotensi membebani keuangan negara.
Terlebih, proyek pensiun dini tersebut dinilai sama sekali bukan menjadi prioritas, karena faktanya PLTU berbahan bakar batu bara tersebut masih memenuhi kelayakan secara ekonomis.
"Kita tidak ingin APBN kita yang langka ini digelontorkan untuk menghapus aset PLTU yang pada dasarnya masih bernilai. Banyak pos-pos pembangunan lain yang lebih membutuhkan alokasi prioritas pendanaan APBN, baik terkait sektor pendidikan, kesehatan maupun pangan," ujar Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS, Mulyanto, Sabtu (21/10/2023).
Menurut Mulyanto, pemerintah tidak boleh bertindak gegabah dan terburu-buru dalam melakukan pensiun dini PLTU berbahan bakar batu bara tersebut.
Pasalnya, Mulyanto menilai bahwa kebutuhan pensiun dini tersebut justru merupakan kepentingan yang dipaksakan oleh negara-negara maju, yang mirisnya justru belum memenuhi janjinya terkait pendanaan yang bakal digelontorkan.
Karenanya, pemerintah diminta Mulyanto untuk dapat bersikap tegas dan independen, serta tidak didikte oleh kepentingan negara-negara maju, apalagi sampai harus mengalokasikan dana fiskal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk proyek pensiun dini PLTU tersebut.
"Jangan mau didikte. Untuk kepentingan (transisi energi) ini, kita berharap agar negara-negara maju atau pendonor yang berjanji membantu suntik mati (early retirement) PLTU melalui skema JETP (just energy transition partnership), tentang pendanaan murah, dapat menepati komitmennya," tutur Mulyanto.
Yang jadi persoalan, menurut Mulyanto, sampai saat ini komitmen dari negara-negara pendonor tersebut terbukti belum juga diwujudkan. Bahkan, wacana yang berkembang saat ini justru perubahan dari skema pendanaan murah menjadi skema dengan bunga komersil.
"Artinya, kita tidak dapat mengharapkan komitmen bantuan dari negara donor tersebut. Mungkin mereka juga masih sibuk mengurusi urusan domestik mereka masing-masing," tutur Mulyanto.
Karenanya, Mulyanto meminta pemerintah untuk tidak melakukan blunder dengan berencana menggunakan APBN untuk mendanai proyek pensiun dini PLTU tersebut, karena tentu bakal memberatkan keuangan negara.
"Apalagi kalau (PLTU yang mau dipensiunkan diri) itu milik swasta. Sekarang bisa kita lihat, bahwa negara maju saja tidak berkomitmen dalam program energi hijau dan dukungan pendanaan yang mereka janjikan. Lalu kenapa kita justru mau saja didikte untuk memensiunkan dini PLTU yang faktanya masih ekonomis," keluh Mulyanto.
Dengan pemikiran tersebut, Mulyanto berharap pemerintah justru mau mengevaluasi secara sungguh-sungguh terkait program suntik mati PLTU tersebut, sehingga jangan sampai merugikan kepentingan nasional.
Mulyanto menegaskan bahwa program suntik mati PLTU tersebut bukan merupakan program yang layak untuk menjadi prioritas alokasi.
"Sebaliknya, program ini justru sarat kepentingan yang sengaja dipaksakan oleh negara-negara maju kepada negara berkembang, termasuk Indonesia," tegas Mulyanto. (TSA)