Untuk itu, Arifin menekankan perlunya alur birokrasi yang efisien, serta mempelajari keandalan teknologi dan progres yang sudah dilakukan oleh negara-negara yang memanfaatkan energi nuklir seperti Uni Emirat Arab, Arab Saudi, dan Korea Selatan.
"Kita melihat mekanisme bagaimana mereka menggunakan energi nuklir itu bisa cepat. Kita jangan lagi memilih alur birokrasi yang terlalu panjang. Mungkin nanti kita cukup punya tim ahli untuk mereviu teknologi, keandalan, dan keekonomian," kata dia.
"Kemudian mekanisme persetujuannya mungkin ke depannya seperti energi-energi biasa. Ini yang perlu kita pikirkan, jangan terlalu melibatkan banyak aturan. Kita contoh saja, kalau teknologinya sudah proven, negara lain bisa menggunakan, kita adopsi saja," katanya.
Lebih lanjut, terkait antisipasi krisis dan/atau darurat energi, salah satu permasalahan yang dihadapi adalah tingginya impor Bahan Bakar Minyak (BBM) yang mencapai 32 persen dari konsumsi BBM sebesar 1,42 juta barel per hari, sehingga diperlukan insiatif pengalihan penggunaan jenis energi.
Arifin menuturkan perlunya pengurangan pemanfaatan BBM melalui program kendaraan listrik, serta pemanfaatan energi yang memaksimalkan sumber daya alam dalam negeri.
"Kita harus melihat bahwa pemanfaatan energi ini harus bisa menggunakan sebanyak mungkin sumber daya alam kita. Contohnya, di sektor transportasi, kita memiliki sumber daya mineral strategis, mineral kritis yang bisa menghasilkan baterai nikel mangan kobalt. Kemudian juga bagaimana infrastruktur untuk SPKLU itu bisa disiapkan," kata Arifin.
Terkait dengan pemanfaatan bioavtur, Arifin menekankan pentingnya membangun industri sehingga Indonesia dapat mandiri secara energi.
(NIY)