sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Nasib Pembiayaan Berkelanjutan di Tengah Berkah Komoditas ‘Kotor’ RI

Economics editor Maulina Ulfa - Riset
18/10/2022 13:11 WIB
Di tengah dorongan implementasi pembiayaan berkelanjutan, beberapa institusi perbankan masih menyalurkan kredit untuk sektor pertambangan.
Nasib Pembiayaan Berkelanjutan di Tengah Berkah Komoditas ‘Kotor’ RI. (Ilustrasi)
Nasib Pembiayaan Berkelanjutan di Tengah Berkah Komoditas ‘Kotor’ RI. (Ilustrasi)

IDXChannel - Sustainable finance atau pembiayaan berkelanjutan menjadi salah satu topik yang sedang naik daun. Perubahan iklim dan orientasi bisnis berbasis lingkungan disinyalir mendorong munculnya wacana pembiayaan berkelanjutan ini.

Di Indonesia sendiri, instrumen keuangan hijau juga memperoleh popularitas dari para investor dalam beberapa tahun terakhir. Salah satunya adalah minat terkait surat utang hijau atau green bonds.

Dalam laporan Climate Bonds Initiative 2022, pemerintah Indonesia telah mengumpulkan sebesar USD4,33 miliar atau sekitar Rp62 triliun melalui penerbitan green bond pada periode 2018 hingga 2021. Green bond ini mencakup green sukuk, baik ritel maupun global.

Pada 2018, pemerintah berhasil mengumpulkan USD1,25 miliar melalui sukuk hijau global, meskipun nilainya turun di tahun berikutnya mencapai USD848 juta.

Di tahun pandemi, kenaikan green bond justru terjadi dengan jumlah USD1,13 miliar dan turun di tahun 2021 menjadi USD1,1 miliar. (Lihat grafik di bawah ini.)

 

Aspek keberlanjutan juga telah menjadi salah satu pertimbangan utama dalam setiap pembiayaan atau investasi, termasuk di sektor keuangan.

Gubernur Bank Indoneisa (BI) Perry Warjiyo dalam sesi Leader's Insight Sustainable Finance Working Group G20 pada Februari lalu menyatakan telah saling bekerja sama dengan fokus pengembangan Sustainable Finance Instrument (SFI) untuk mendukung ekonomi hijau dan berkelanjutan.

Kolaborasi bersama antara pemerintah dan otoritas dipandang penting untuk terus ditingkatkan untuk membangun ekosistem guna menjaga kontinuitas SFI di pasar dalam jangka panjang. 

Mengutip website BI, Perry Warjiyo juga memaparkan 3 strategi untuk meningkatkan SFI.

Pertama, pentingnya mengembangkan instrumen keuangan dan investasi hijau untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif. Hal ini dapat menjadi sumber pertumbuhan baru, perluasan tenaga kerja dan mendukung pencapaian Paris Agreement 2030.

Kedua, pentingnya membangun ekosistem instrumen keuangan berkelanjutan. Hal ini dapat diwujudkan dengan dukungan semua pihak terkait melalui kebijakan insentif maupun disinsentif, membangun infrastruktur yang resilien, termasuk elemen penting lainnya seperti taksonomi hijau, jasa verifikasi, lembaga sertifikasi hijau, dan penyedia ratings hijau.

Bank Indonesia bersama pemerintah akan turut mengambil peran dalam pengembangan ekosistem hijau di Indonesia melalui kebijakan dan dukungan instrumen pasar uang hijau, pembiayaan hijau dan inklusif untuk UMKM serta ekonomi dan keuangan syariah yang berkelanjutan.

Ketiga, program pembangunan kapasitas dan bantuan teknis berkelanjutan menjadi hal penting dalam meningkatkan pemahaman dan keahlian seluruh pihak. Keberhasilan pengembangan SFI akan ditentukan oleh ketangguhan kolaborasi, kebersamaan, dan saling mendukung antar seluruh pemangku kepentingan.

Namun, bagaimana nasib pembiayaan berkelanjutan di tengah meningkatnya harga komoditas yang dianggap kotor dan penyebab utama emisi?

Pendanaan Sektor Tambang Masih Deras Mengalir

Sejumlah bank di Indonesia menyatakan komitmen untuk mendukung ekonomi hijau dan pembiayaan hijau. Beberapa bank seperti BRI (BBRI) sudah menyatakan membatasi pembiayaan ke sektor energi fosil, seperti batu bara dan minyak bumi.

Hal ini disampaikan Direktur Utama BRI, Sunarso bahwa perseroan akan membatasi kredit ke sektor energi fosil, termasuk ke pertambangan batu bara dan minyak bumi.

Portofolio kredit perseroan BRI ke sektor energi fosil, terutama batu bara, hanya 0,03% dari keseluruhan kredit BRI. Nilai ini dipastikan tidak akan bertambah.

Ada juga BNI (BBNI) yang menyatakan komitmen di segmen green banking dengan menawarkan obligasi korporasi berwawasan lingkungan atau green bond mencapai Rp5 triliun.

BNI juga mengklaim sebagai yang pertama yang menerbitkan green bond dalam denominasi rupiah. Menurut BNI, dana yang terhimpun akan digunakan untuk pembiayaan proyek berkategori Kegiatan Usaha Berwawasan Lingkungan (KUBL).

Namun, BNI masih tercatat menyalurkan kredit di sektor pertambangan dengan pertumbuhan penyaluran kredit perusahaan dengan kenaikan 373% year on year (yoy) pada Juni 2022. Penyaluran ini menjadi tiga besar pertumbuhan kredit BNI. Sementara sektor tambang juga masih menjadi penyumbang pertumbuhan kredit komersial dengan nilai 168% quarter-to-quarter (QoQ) pada periode yang sama.

Secara umum, berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sampai dengan Juni 2022, perbankan di Indonesia menyalurkan kredit sebesar Rp210,94 ke sektor pertambangan dan penggalian, meningkat dibanding Februari 2022 yang mencapai Rp158,13 triliun.

Berkah Komoditas Ancaman Pembiayaan Berkelanjutan

Di tengah pelemahan ekonomi global, Indonesia tengah menikmati  ‘durian runtuh’ alias windfall komoditas yang dianggap memiliki emisi tinggi seperti batu bara. (Lihat grafik di bawah ini.)

Tercatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor batu bara Indonesia terus meroket seiring dengan kenaikan harganya di pasaran. Total ekspor batu bara nasional pada kuartal II 2022 mencapai USD13,55 miliar, meningkat sekitar 155% (YoY).

Ekspansi pasar terjadi di Eropa, yang sedang dilanda krisis pasokan energi dampak dari embargo gas dari Rusia.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) juga mencatat, realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) per akhir Juni 2022 juga mencapai Rp281 triliun. Hal ini didorong oleh kenaikan pendapatan sumber daya alam (SDA) dan pendapatan KND yang mengalami kenaikan signifikan. Angka tersebut tumbuh 35,5% dari tahun lalu sebesar Rp207 triliun.

Rincian PNBP SDA ini mencapai Rp 114,6 triliun, yang meliputi PNBP SDA Migas sebesar Rp74,6 triliun, atau tumbuh 86,8% yoy. Jumlah ini meliputi minyak bumi sebesar Rp66,1 triliun dan gas bumi sebesar Rp8,4 triliun.

Sementara itu, pada PNBP SDA Non Migas juga mengalami kenaikan signifikan sebesar Rp40 triliun, atau tumbuh 101,8 triliun jika dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama pada tahun lalu yang hanya mencapai Rp19,8 triliun. 

Sementara rincian PNBP SDA Non Migas paling besar disumbang sektor pertambangan minerba dengan realisasi Rp 36,3 triliun.

Realitas ini menunjukkan bahwa sektor pembiayaan keuangan RI masih belum bisa sepenuhnya melepaskan diri dari sektor pertambangan.

Mengingat sektor ini masih menjadi tulang punggung (backbone) bagi perekonomian nasional, ke depan hal ini akan menjadi tantangan serius bagi pembiayaan berkelanjutan. (ADF)

Halaman : 1 2
Advertisement
Advertisement