IDXChannel — Kenaikan harga minyak dunia hingga menembus lebih dari 100 dolar AS per barel memicu melonjaknya harga keekonomian Bahan Bakar Minyak (BBM) di dalam negeri. Karenanya, kenaikan harga jual secara selektif dinilai perlu segera dilakukan agar tidak merugikan anggaran negara.
Pengamat Ekonomi dan Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menyebutkan bahwa sebagai negara net importer, Indonesia jadi sangat dirugikan karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi tergerus untuk menambal selisih harga antara harga riil di lapangan yang telah naik signifikan, dengan harga jual di pasar domestik yang belum juga disesuaikan.
“Kenaikan harga minyak di atas 100 dolar AS per barel tentu sangat memberatkan APBN. Semakin tinggi kenaikan harga minyak, maka beban APBN juga semakin berat. Karena itu (harga) pertamax harus dinaikkan dan rremium kalau perlu juga dihapuskan saja,” Fahmy, kepada media, Sabtu (26/3/2022).
Menurut Fahmy, beban berat yang harus ditanggung APBN adalah kewajiban membayar kompensasi kepada Pertamina yang terpaksa harus menjual pertamax menggunakan harga lama lantaran kebijakan kenaikan harga belum juga diputuskan oleh pemerintah.
“Kalau tidak ada kenaikan harga BBM di dalam negeri, jelas beban APBN semakin berat karena harus nombok. Hanya memang dilematis bagi Pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Lantaran kenaikan harga BBM berpontensi menaikkan inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat,” ungkap Fahmy.