Pada 2022, produksi kobalt Indonesia melonjak hingga hampir 9.500 ton dari 2.700 ton di tahun sebelumnya, dan berpotensi meningkatkan produksi sebesar sepuluh kali lipat pada 2030.
Pertumbuhan eksponensial sektor kendaraan listrik diperkirakan akan mendorong peningkatan permintaan kobalt global sebesar dua kali lipat pada 2030.
Melihat perubahan produksi kobalt yang signifikan, hal ini bukannya tanpa tantangan. Anjloknya harga kobalt, yang turun hampir 30% tahun ini menjadi USD13,90 per pon atau setara dengan Rp215.450/pon (kurs 15.500 per dolar), sangat berdampak pada Kongo.
Selain itu, prospek jangka panjang kobalt di Kongo dapat menghadapi hambatan karena adanya upaya untuk mengurangi penggunaannya sebagai bahan kimia baterai.
Kekhawatiran hak asasi manusia (HAM) dan dugaan pekerja anak di tambang kobalt Kongo menjadi penyebabnya.