IDXChannel - Pemberian izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) kepada Ormas Keagamaan menuai polemik.
Menurut Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, kebijakan tersebut cenderung blunder dan tidak tepat.
"Pemberian WIUPK ditengarai untuk meninggalkan legasi agar Jokowi tetap disayangi umat Ormas Keagamaan usai masa jabatan habis pada Oktober mendatang," ungkap Fahmy pada Jumat (7/6/2024).
Fahmy menyampaikan, Ormas Keagamaan tidak memiliki kapabilitas dan kemampuan dana untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan. Ia menilai Ormas Keagamaan akan berperan sebagai makelar dengan mengalihkan WIUPK kepada perusahaan tambang swasta.
"Dalam kondisi tersebut, Ormas Keagamaan hanya akan berperan sebagai broker alias makelar dengan mengalihkan WIUPK kepada perusahaan tambang swasta," katanya.
Selain itu, usaha pertambangan di Indonesia masih berada pada wilayah abu-abu (gray areas) yang penuh dengan tindak pidana kejahatan pertambangan. Dengan begitu Ormas Keagamaan akan memasuki wilayah yang berpotensi masuk ke dunia hitam pertambangan.
"Kalau Ormas Keagamaan harus menjalankan sendiri usaha pertambangan, tidak disangkal lagi Ormas Keagamaan akan memasuki wilayah abu-abu," tuturnya.
Lebih lanjut Fahmy menyebut, jika Pemerintah ingin meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui Ormas Keagamaan caranya bukan dengan memberikan WIUPK. Namun, Pemerintah bisa memberikan PI (profitability index) kepada Ormas keagamaan, seperti yang dilakukan perusahaan pertambangan kepada Pemerintah Daerah.
"Pemberian PI lebih sesuai dengan kapasitas dan karakteristik Ormas keagamaan, tidak berisiko dan tidak berpotensi menjerembabkan Ormas Keagamaan ke dalam kubangan dunia hitam Pertambangan," kata Fahmy.
"Pemerintah sebaiknya membatalkan, paling tidak merevisi PP Nomor 25/2024 karena lebih besar mudharatnya ketimbang manfaatnya," tandasnya.
(DES)