sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Panduan Menghadapi Ekonomi Indonesia di Tahun Pemilu 2024

Economics editor Maulina Ulfa - Riset
01/12/2023 07:30 WIB
Tim Riset IDX Channel merangkum tantangan ekonomi yang perlu diwaspadai Indonesia jelang tahun politik 2023 menurut paparan Bank Indonesia.
Panduan Menghadapi Ekonomi Indonesia di Tahun Pemilu 2024. (Foto: Freepik)
Panduan Menghadapi Ekonomi Indonesia di Tahun Pemilu 2024. (Foto: Freepik)

IDXChannel - Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru saja menyampaikan pidatonya dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (BI) 2023 pada Rabu (29/11/2023). Dalam paparannya, ia mengisyaratkan agar semua pihak waspada terhadap kondisi ekonomi Indonesia di tahun depan.

“Dunia tidak sedang baik-baik saja. Banyak fenomena domestik yang berdampak pada ekonomi global. Amerika Serikat (AS) inflasi dan suku bunga tinggi, China krisis properti dan perlambatan ekonomi,”ujar Jokowi.

Jokowi menambahkan, tahun depan Indonesia akan memiliki hajatan melakukan pemilihan umum (pemilu) untuk memilih presiden baru. Namun, presiden menegaskan dampak ekonomi dari pesta demokrasi lima tahunan ini tak perlu dikhawatirkan.

“Perlu saya ingatkan, tidak perlu dikhawatirkan. Negara kita sudah melakukan pemilu bukan hanya sekali, tetapi sudah lima kali. Jika ada perbedaan dan tensi menghangat itu sudah biasa. Marilah kita bersatu untuk Indonesia Maju,” kata Jokowi.

Tim Riset IDX Channel merangkum tantangan ekonomi yang perlu diwaspadai Indonesia jelang tahun politik 2023 menurut paparan Bank Indonesia.

Tantangan Ekonomi Tahun Depan dalam Data

Gubernur BI Perry Warjiyo optimistis ekonomi Indonesia akan tumbuh di kisaran 4,7-5,5 persen pada 2024. Meskipun, kondisi global saat ini penuh gejolak ketidakpastian.

Dia meyakini ekonomi nasional memiliki daya tahan seperti saat pandemi Covid-19 dan gejolak global. Menurut Perry, sinergi menjadi kunci agar ekonomi dalam negeri tetap solid menghadapi tantangan di tahun depan.

Bank Indonesia juga melihat ada lima alasan yang menyebabkan ekonomi 2024 redup dan perlu menjadi perhatian bersama.

  1. Turunnya prospek pertumbuhan ekonomi dunia 2024

BI mengatakan tantangan ekonomi tahun depan adalah turunnya prospek pertumbuhan ekonomi dunia 2024 yang hanya 2,8 persen dan akan meningkat menjadi 3 persen di 2025.

Sementara Goldman Sachs Research dalam Macro Outlook 2024: The Hard Part Is Over memperkirakan ekonomi global akan melampaui ekspektasi pada 2024 sama seperti yang terjadi pada 2023.

PDB seluruh dunia diperkirakan akan meningkat sebesar 2,6 persen tahun depan secara rata-rata tahunan, dibandingkan dengan perkiraan konsensus para ekonom sebesar 2,1 persen yang disurvei oleh Bloomberg.

Faktanya, perkiraan Goldman Sachs Research untuk pertumbuhan PDB pada 2024 lebih optimis dibandingkan konsensus delapan dari sembilan negara dengan perekonomian terbesar di dunia pada 8 November 2023.

“Dan yang lebih penting lagi, para ekonom kami memperkirakan pertumbuhan AS akan kembali melampaui negara-negara maju lainnya,” kata Jan Hatzius Chief Economist Goldman Sachs Research.

Di lain pihak, menurut Economic Outlook terbaru OECD, pertumbuhan global diperkirakan akan tetap moderat. Ini karena dengan dampak dari pengetatan kebijakan moneter, perdagangan yang lemah dan kepercayaan bisnis dan konsumen yang lebih rendah yang semakin terasa.

Outlook OECD memproyeksikan pertumbuhan PDB global sebesar 2,9 persen pada 2023, diikuti oleh sedikit perlambatan menjadi 2,7 persen pada 2024 dan sedikit perbaikan menjadi 3 persen pada 2025.

Asia diperkirakan akan terus menyumbang sebagian besar pertumbuhan global pada tahun 2024-2025, seperti yang terjadi pada 2023.

  1. Lambatnya penurunan laju inflasi

Penurunan laju inflasi di sejumlah negara maju juga sangat lambat, meskipun bank sentral sudah melakukan kebijakan moneter yang ketat dan agresif. Ini terlihat dari data ekonomi di sejumlah negara maju seperti AS, Inggris, Jerman, Prancis, hingga Jepang.

Di era suku bunga tinggi, tingkat inflasi tahunan di AS melambat menjadi 3,2 persen pada Oktober 2023 dari 3,7 persen pada September dan Agustus, dan di bawah perkiraan pasar sebesar 3,3 persen. Sementara itu, CPI inti secara tak terduga naik 4 persen dalam setahun dan 0,2 persen dalam sebulan, di bawah perkiraan masing-masing sebesar 4,1 persen dan 0,3 persen. (Lihat grafik di bawah ini.)

 

Inflasi negara maju baru turun di 2024, namun itu pun masih di atas target inflasi. "Ini karena tingginya harga energi dan pangan global, dan keketatan pasar tenaga kerja," ungkap Perry.

Sementara, menurut outlook OECD, inflasi harga konsumen diperkirakan akan terus menurun secara bertahap hingga mencapai target bank sentral di sebagian besar negara pada 2025, karena tekanan biaya yang moderat. Inflasi harga konsumen di negara-negara OECD diperkirakan menurun dari 7,0 persen pada 2023 menjadi 5,2 persen pada 2024 dan 3,8 persen pada 2025.

  1. Tingginya suku bunga acuan AS

Suku bunga acuan AS yang masih tinggi dalam waktu yang cukup lama masih akan menjadi beban bagi perekonomian global tahun depan. Sejak Maret 2022 hingga November 2023, The Fed telah menaikkan suku bunga acuan sebanyak 11 kali dengan kenaikan akumulatif sebesar 525 basis poin.

Kini, The Fed kembali memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di kisaran 5,25 persen-5,50 persen dalam rapat kebijakan FOMC Meeting yang berakhir pada Rabu (1/11) waktu AS.

Dalam 14 kali pertemuan, The Fed telah menaikkan suku bunga acuan sebanyak 11 kali. Level FFR saat ini juga merupakan yang tertinggi dalam 22 tahun.

BI juga menyoroti Yield US Treasury yang terus meningkat karena bengkaknya utang AS. Meski demikian, per Rabu (29/11), imbal hasil obligasi pemerintah di seluruh dunia turun setelah komentar dovish dari pejabat bank sentral AS.

Imbal hasil obligasi Treasury AS bertenor 10-tahun turun menjadi 4,26 persen dan merupakan level terendah sejak pertengahan September.

Hal serupa juga dialami imbal hasil obligasi pemerintah Jerman bertenor 10-tahun yang merupakan patokan untuk Kawasan Euro, turun menjadi 2,43 persen dan menjadi yang terendah dalam sekitar 4 bulan. (Lihat grafik di bawah ini.)

Penurunan serupa juga terjadi pada imbal hasil Gilt 10-tahun di Inggris yang turun ke angka 4,2 persen. Ini karena investor mencerna pernyataan hawkish dari para pengambil kebijakan Bank of England, sambil menantikan serangkaian data ekonomi global yang dijadwalkan akhir pekan ini, termasuk arah kebijakan moneter The Fed.

Sementara imbal hasil obligasi pemerintah Jepang bertenor 10 tahun juga turun di bawah 0,7 persen, merosot ke level terendah dalam hampir tiga bulan dan mengikuti penurunan imbal hasil obligasi AS.

  1. Kuatnya Dolar AS

Dolar AS sempat menguat beberapa waktu lalu AS yang menyebabkan kejatuhan nilai tukar mata uang di seluruh dunia, termasuk rupiah. Rupiah sempat mendekati level Rp16 ribu per USD, sementara per Kamis (30/11) sudah mulai menguat di level Rp15.484 per USD. Meski demikian, dalam setahun, rupiah sudah melemah 1,58 persen. (Lihat grafik di bawah ini.)

Per Kamis (30/11) indeks dolar juga turun ke level 102,79 dan mengalami penurunan sekitar 3 persen dalam sebulan, karena pidato The Fed baru-baru ini memperkuat spekulasi bahwa bank sentral ini sudah selesai menaikkan suku bunga dan dapat mulai menurunkan suku bunga berikutnya. (Lihat grafik di bawah ini.)

  1. Keluarnya modal asing dari negara berkembang ke negara maju

Faktor kelima adalah cash is the king. Artinya, ada pelarian modal asing dalam jumlah besar, dari negara berkembang ke negara maju.

"Sebagian besar lari ke AS karena tingginya suku bunga dan kuatnya dolar," jelas Perry.

Jika dilihat, data BI mencatat meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global yang mendorong aliran keluar modal asing (net outflows) dalam bentuk investasi portofolio pada triwulan III 2023 sebesar USD2,1 miliar. Tekanan terhadap aliran modal asing terus berlanjut pada triwulan IV 2023 yang hingga 17 Oktober 2023 mencatat net outflows sebesar USD0,4 miliar. 

Mewaspadai Indeks Harga Energi dan Pangan

Dalam pidatonya, presiden Jokowi menyinggung soal dampak perang yang bisa membuat harga energi dan harga pangan kembali bergejolak.

Jokowi menegaskan, akibat perang yang tak kunjung usai serta pemanasan global, kini produksi pangan Indonesia semakin menurun. 

"Pemanasan global betul-betul kita rasakan dan akibatnya produksi pangan kita sedikit menuruun," kata Jokowi.

Jokowi menambahkan, perang dan pemanasan global tidak hanya berdampak di Indonesia, tapi juga negara lainnya. 

Dia menyebut, 22 negara sudah membatasi ekspor pangan ke berbagai negara. Dampaknya, kata Jokowi, kini Indonesia sulit untuk mendapatkan beras impor.

Tak hanya itu, Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo dalam acara semalam juga menekankan untuk mewaspadai dampak tiga perang yang tengah terjadi di dunia sepanjang tahun ini.

Pertama, perang Rusia-Ukraina. Kedua, perang dagang AS-China. Ketiga, ada perang Israel-Palestina.

"Ini menyebabkan fragmentasi geopolitik ekonomi dan akibatnya prospek ekonomi global meredup 2024, sebelum bersinar lagi 2025. Ketidakpastian masih tinggi dengan lima karakteristik," tutur Perry

Jika merujuk data Statista, indeks harga energi global berada pada kisaran 152,6 pada 2022. Angka ini meningkat dibandingkan tahun sebelumnya dan merupakan dampak dari meningkatnya permintaan bahan bakar dan listrik seiring dengan pulihnya perekonomian dari pandemi virus corona. Untuk 2023, perkiraan menunjukkan indeks harga akan turun menjadi 113. (Lihat grafik di bawah ini.)


Indeks harga energi ini menunjukkan perkembangan harga barang atau jasa dari waktu ke. Harga komoditas mungkin bergantung pada berbagai faktor mulai dari penawaran dan permintaan hingga pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Sementara Indeks Harga Pangan FAO turun selama tiga bulan berturut-turut menjadi 120,6 pada Oktober 2023, terendah sejak Maret 2021, dibandingkan 121,3 pada September.

Secara global, per Oktober 2023 harga gula turun (-2,2 persen), terutama didorong oleh kuatnya produksi di Brasil, meskipun hujan berdampak negatif terhadap rusaknya tebu pada paruh pertama Oktober.

Harga sereal turun 1 persen, terutama disebabkan oleh penurunan gandum sebesar 1,9 persen, yang mencerminkan pasokan yang secara umum lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya di AS dan persaingan yang kuat di antara para eksportir.

Harga minyak nabati turun 0,7% karena penurunan harga minyak sawit mampu mengimbangi kenaikan harga minyak kedelai, bunga matahari, dan minyak lobak.

Selain itu, harga daging turun 0,6 persen karena harga daging babi turun selama tiga bulan berturut-turut, di tengah masih lesunya permintaan impor, terutama dari beberapa negara Asia Timur.

Sebaliknya, harga susu meningkat kembali (2,2 persen) setelah sembilan kali penurunan berturut-turut, karena harga susu bubuk mengalami kenaikan terbesar, terutama karena permintaan impor untuk pasokan jangka pendek dan jangka panjang.

Namun, meski indeks pangan global turun, nyatanya biaya pangan di Indonesia meningkat 5,41 persen dari tahun sebelumnya pada Oktober 2023 dan menjadi yang terbesar dalam tujuh bulan, setelah kenaikan sebesar 4,17 persen pada September.

Inflasi Pangan di Indonesia rata-rata sebesar 11,07 persen dari tahun 1997 hingga 2023. Angka inflasi pangan RI mencapai rekor tertinggi sepanjang masa sebesar 138,12 persen pada September 1998 dan rekor terendah sebesar -11,16 persen pada Maret 2000. (ADF)

Halaman : 1 2 3
Advertisement
Advertisement