IDXChannel - Langkah organisasi negara pengekspor minyak (Organization of the Petroleum Exporting Countries/OPEC) dan negara-negara pendukungnya yang memastikan pemangkasan produksi minyak mentah dunia praktis membuat kelompok tersebut menjadi sorotan dunia.
Langkah pemangkasan secara resmi diambil OPEC+ sejak Rabu (5/10/2022) lalu, dengan alasan untuk kembali menaikkan harga jual minyak, usai terus merosot dalam beberapa waktu terakhir, hingga berada jauh di bawah USD100 per barel. Langkah mengurangi pasokan dinilai tepat guna menyeimbangkan kembali pasar minyak internasional.
Namun, langkah tersebut justru ditentang oleh Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Eropa yang saat ini tengah kesulitan pasokan energi, hingga mengalami kenaikan harga gas berkali lipat. Bagi AS cs, langkah yang ditempuh OPEC+ bakal menganggu stabilitas perekonomian global secara keseluruhan.
Pemimpin de-facto OPEC Arab Saudi memberitahu bahwa pemotongan dua juta barel per hari (bpd), sama dengan dua persen dari pasokan global yang diperlukan untuk menanggapi kenaikan suku bunga di Barat dan ekonomi global yang makin melemah.
Menolak kritik tersebut, Arab Saudi memberitahu bahwa pihaknya berkolusi dengan Rusia, yang termasuk dalam kelompok OPEC+, untuk mendorong harga lebih tinggi dan mengatakan negara Barat sering didorong arogansi kekayaan ketika mengkritik kelompok itu.
Sepakat untuk mengurangi produksi sebesar dua juta barel per hari (bpd) mulai November 2022, kartel negara-negara pengekspor minyak (OPEC) yang terdiri dari 13 negara anggota tersebut dipimpin oleh Arab Saudi dan 10 sekutunya (OPEC+) yang dipimpin oleh Rusia diputuskan pada pertemuan di Wina, Austria kata kelompok itu dalam pernyataan resmi.
Keputusan pemotongan pasokan minyak mentah ini dapat mempercepat pemulihan harga minyak yang telah turun menjadi USD90 dari USD120 sekitar tiga bulan lalu, karena kekhawatiran resesi ekonomi global akan kenaikan suku bunga AS dan dolar yang lebih kuat.
Dimana pemotongan ini termasuk yang terbesar sejak pandemi Covid-19. Kekhawatiran yang meningkat karena harga minyak akan naik pada saat negara-negara sudah mengalami inflasi yang di dorong oleh harga energi yang melonjak.
Menteri Energi Arab Saudi, Pangeran Abdulaziz bin Salman, membela langkah itu, dengan bersikeras mengatakan bahwa prioritas kartel adalah untuk mempertahankan pasar minyak yang berkelanjutan, dikatakan pada konferensi pers setelah pertemuan langsung pertama OPEC+ sejak Maret 2020.
Tetapi keputusan itu akhirnya mendapat teguran cepat dari Presiden AS Joe Biden, yang sempat melakukan perjalanan kontroversial ke Arab Saudi pada Juli 2022 di bawah tekanan karena orang Amerika menghadapi kenaikan harga di stasiun pengisian bahan bakar.
Sebagai pembalasan atas serangan ke Ukraina, sekutu Barat yang dipimpin oleh AS telah mencoba mengisolasi ekonomi Rusia, yang sangat bergantung pada ekspor energi. (TSA)
Penulis: Rita Hanifah