Melansir riset International Institute for Strategic Studies (IISS), biaya personel untuk 360.000 tentara cadangan menjadi mobilisasi terbesar Israel sejak Perang Yom Kippur tahun 1973. Jumlah ini memberikan tekanan besar pada keuangan publik Israel.
Pemerintah Israel memperkirakan biaya tersebut mencapai USD41 juta per hari pada tahap awal pertempuran. Durasi perang yang kini mencapai lima bulan membuat biaya personel tambahan bisa mencapai sekitar USD4,2 miliar hingga Januari.
Perang ini juga mempunyai dampak buruk lainnya terhadap perekonomian Israel. Pasukan cadangan mewakili sekitar 8 persen angkatan kerja Israel, yang berarti mobilisasi menyebabkan berkurangnya pasokan tenaga kerja. Kerugian ekonomi tidak langsung yang ditimbulkan mencapai ILS2,5 miliar (USD684 juta) dalam lima minggu pertama operasi.
Kondisi ini menyebabkan terjadinya guncangan lain pada pasar tenaga kerja. Misalnya, sebelum Oktober 2023, diperkirakan 75 ribu warga Palestina dari Tepi Barat dan 12 ribu dari Gaza memiliki izin kerja Israel. Jumlah ini ditambah dengan sekitar 15 ribu pekerja tidak berdokumen yang bekerja di bidang perdagangan seperti konstruksi dan pekerjaan rumah tangga.
Israel membekukan izin bagi pekerja Palestina setelah tanggal 7 Oktober, dan rencana untuk menutupi kekurangan dengan mempekerjakan pekerja asing dari India belum membuahkan hasil. Hal ini menunjukkan bahwa kesulitan tenaga kerja di Israel akan tetap ada, setidaknya untuk jangka pendek hingga menengah.