sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Pemerintah Ajukan RUU Perpajakan di Tengah Pandemi, Tepatkah?

Economics editor Azhfar Muhammad
23/08/2021 13:15 WIB
CELIOS menyatakan reformasi pembahasan Rancangan undang-undang Ketentuan Umum Perpajakan belum terlalu mendesak untuk dilakukan.
Pemerintah Ajukan RUU Perpajakan di Tengah Pandemi, Tepatkah? (Foto: MNC Media)
Pemerintah Ajukan RUU Perpajakan di Tengah Pandemi, Tepatkah? (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies CELIOS, Bhima Yudhistira, mengatakan reformasi pembahasan Rancangan undang-undang Ketentuan Umum Perpajakan belum terlalu mendesak untuk dilakukan.

“Momentumnya juga tidak pas, karena pemulihan daya beli tidak merata di semua kelompok. Misalnya beras premium mau dikenakan tarif PPN 10%, bagaimana dampak terhadap petani yang sulit membedakan mana beras premium dan beras biasa? Pendataan soal bahan makanan juga selama ini masih bermasalah sehingga pengawasan menjadi lebih sulit di lapangan,” kata Bhima saat dihubungi MPI, Senin (23/8/2021).

Sementara itu, Bhima mengaku bagian yang seharusnya tidak perlu dimasukkan ke dalam revisi UU KUP adalah Pasal 44E terkait perubahan UU PPN di mana bahan kebutuhan pokok, layanan pendidikan dan kesehatan sebagai objek PPN sangat berisiko menurunkan daya beli masyarakat.

“Pasal 44G terkait pajak karbon perlu didukung dengan adanya roadmap dan fokus di jangka pendek pada penerapan pajak karbon di sektor hulu yang menghasilkan emisi karbon seperti pertambangan, migas, dan industri ekstraktif lainnya,” ungkapnya.

Sementara penerapan pajak karbon ke masyarakat sebaiknya dilakukan secara hati-hati menimbang daya beli per kelompok masyarakat.

“Dimohon sekali pembahasan pengecualian objek PPN didrop saja dari RUU KUP karena kontradiksi terhadap pemulihan ekonomi yang ditarget 5-5,5% pada 2022,” ungkapnya. 

Selanjutnya pada Pasal 37 Bhima mengatakan terindikasi akan adanya Tax Amnesty jilid ke-2 yang ingin dilakukan Pemerintah. Rujukan pasal per pasal ke UU Pengampunan Pajak 2016 jadi indikasi kuat adanya pengampunan kembali. 

“Padahal terlalu sering melakukan tax amnesty justru menurunkan tingkat kepercayaan wajib pajak. Sekali diberi tax amnesty, maka wajib pajak yang nakal akan menunggu tax amnesty berikutnya. Ini kontraproduktif terhadap komitmen paska tax amnesty untuk menegakan kepatuhan pajak bagi wajib pajak yang tidak memanfaatkan tax amnesty 2016 lalu,” tambahnya. 

Kemudian Pasal 17b berkaitan dengan penurunan tarif PPh badan menjadi 20% di 2022 dan 17% untuk perusahaan yang go public perlu dievaluasi kembali. 

“Untuk meningkatkan daya saing, apakah penurunan tarif PPh badan ini efektif? Jawabannya belum tentu. Dari studi yang dilakukan di Singapura, keputusan perusahaan memiliki kantor akuntansi dan perpajakan di Singapura bukan hanya masalah tarif pajak yang rendah. Tapi kepastian regulasi dan keamanan menjadi faktor paling krusial. Disisi lain penurunan tarif PPh badan dikhawatirkan justru menggerus rasio pajak pada 2022,” paparnya.

Meskipun demikian, Bhima mengatakan untuk  apa lagi diberikan penurunan tarif sampai 17% sudah banyak perusahaan besar menikmati insentif perpajakan dalam bentuk tax allowances dan tax holiday. (TYO)

Halaman : 1 2 3
Advertisement
Advertisement