sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Relevansi G20 di Tengah Gejolak Geopolitik dan Deglobalisasi Perdagangan

Economics editor Maulina Ulfa - Riset
12/11/2022 07:00 WIB
Kondisi ekonomi global yang penuh guncangan, hingga pecahnya perang senjata menjadikan harapan Recover Together, Recover Stronger semakin mendapat tantangan.
Relevansi G20 di Tengah Gejolak Geopolitik dan Deglobalisasi Perdagangan. (Foto: MNC Media)
Relevansi G20 di Tengah Gejolak Geopolitik dan Deglobalisasi Perdagangan. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) puncak G20 akan diselenggarakan dalam hitungan hari. Ajang tahunan ini menjadi pertemuan para negara yang tergabung dalam Group of Twenty (G20).

Pertemuan elite ini merupakan forum utama kerja sama ekonomi internasional yang beranggotakan negara-negara dengan perekonomian besar di dunia terdiri dari 19 negara dan 1 lembaga Uni Eropa.

G20 merupakan representasi lebih dari 60% populasi bumi, 75% perdagangan global, dan 80% PDB dunia.  

Anggota G20 terdiri dari Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Meksiko, Republik Korea, Rusia, Perancis, China, Turki, dan Uni Eropa.

Presidensi G20 Indonesia 2022 saat ini mengambil tema "Recover Together, Recover Stronger".  

Melalui tema tersebut, Indonesia ingin mengajak seluruh dunia untuk bahu-membahu, saling mendukung untuk pulih bersama serta tumbuh lebih kuat dan berkelanjutan.

Namun sejumlah tantangan ekonomi masih besar mengintai. Kondisi ekonomi global yang mengalami guncangan, hingga pecahnya perang senjata menjadikan harapan Recover Together, Recover Stronger semakin mendapat tantangan.

Ekonomi G20 Penuh Gejolak

Kinerja ekonomi negara-negara anggota G20 hingga kuartal dua tahun ini bisa dibilang tidak memuaskan.

Produk domestik bruto (PDB) di kawasan G20 turun 0,4% kuartal-ke-kuartal pada Q2 2022 setelah sebelumnya naik 0,5% pada Q1, berdasarkan kalkulasi OECD. (Lihat grafik di bawah ini)

Perlambatan ini mencerminkan kontraksi tajam yang terjadi di China, di mana PDB turun minus 2,6% kuartal-ke-kuartal (qoq) setelah naik 1,4% pada Q1 2022.

Kontraksi ini dampak dari kebijakan lockdown yang diberlakukan untuk membendung meluasnya wabah Covid-19.

PDB juga mengalami kontraksi di India sebesar 1,4%, di Afrika Selatan sebesar 0,7% dan di Inggris dan Amerika Serikat masing-masing sebesar 0,1%.

Di India, penyebab utama perlambatan tersebut adalah penurunan dalam pengeluaran pemerintah dan aktivitas ekspor impor.

Di Afrika Selatan, pemulihan ekonomi semenjak dua kuartal sebelumnya dirusak oleh banjir parah di provinsi manufaktur utama.

Pertumbuhan juga melambat di beberapa negara, meskipun tetapi tetap positif seperti di Arab Saudi sebesar 2,2%, Indonesia 1,0%, Meksiko 0,9% dan Jerman 0,1%.

Meskipun terjadi kontraksi PDB di kawasan G20 secara keseluruhan, Australia, Brasil, Italia, Jepang, Korea, dan Türkiye mencatat pertumbuhan yang lebih kuat di Q2 2022 dibandingkan dengan kuartal sebelumnya.

Pertumbuhan di Türkiye pada kuartal ini mencapai 2,1% dibandingkan dengan Q1 2022 yang ada di angka 0,7%.

Peningkatan ini didukung oleh meroketnya konsumsi swasta yang konsumsi riil. Di Prancis, PDB naik 0,5% di Q2 2022 setelah kontraksi 0,2% pada kuartal sebelumnya, Sementara di Kanada pertumbuhan tetap stabil di 0,8%.

Halaman : 1 2 3 4
Advertisement
Advertisement