sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Relevansi G20 di Tengah Gejolak Geopolitik dan Deglobalisasi Perdagangan

Economics editor Maulina Ulfa - Riset
12/11/2022 07:00 WIB
Kondisi ekonomi global yang penuh guncangan, hingga pecahnya perang senjata menjadikan harapan Recover Together, Recover Stronger semakin mendapat tantangan.
Relevansi G20 di Tengah Gejolak Geopolitik dan Deglobalisasi Perdagangan. (Foto: MNC Media)
Relevansi G20 di Tengah Gejolak Geopolitik dan Deglobalisasi Perdagangan. (Foto: MNC Media)

Dampak perang terhadap harga komoditas dan inflasi terasa nyata. Hal ini mendorong negara-negara mulai mengamankan pasokan pangan mereka masing-masing tinimbang menjalin hubungan perdagangan dengan negara lain.

Macchiarelli juga memperkirakan bahwa efek perang di Ukraina akan mengakibatkan tingkat PDB global menjadi satu persen lebih rendah pada akhir tahun 2022 yang diramalkan sekitar USD1,5 triliun.

Ancaman Ketahanan Pangan akibat Perang

Dimensi lain dari konflik Rusia-Ukraina adalah kerentanan pangan yang menunjukkan tren peningkatan. Inflasi harga pangan domestik hampir terjadi di semua negara berpenghasilan rendah dan menengah antara Juni dan September 2022, tak terkecuali di negara-negara G20.

Menurut laporan World Bank dalam Food Security Update pada 27 Oktober lalu, negara kaya mengalami inflasi pangan sebesar 84,2%. Sementara negara berpenghasilan menengah ke bawah mengalami inflasi pangan sebesar 88,9%. Serta 93% negara berpenghasilan menengah ke atas juga mengalami inflasi pangan.

Negara-negara ini secara umum bahkan mengalami tingkat inflasi di atas 5%, bahkan mengalami inflasi dua digit.

Negara-negara berpenghasilan tinggi, termasuk beberapa di antaranya adalah negara G20 mengalami inflasi tinggi. Adapun sekitar 87,5% mengalami inflasi harga pangan yang tinggi.

Negara-negara yang paling terkena dampak kerentanan pangan ini tersebar di Afrika, Amerika Utara, Amerika Latin, Asia Selatan, Eropa, hingga Asia Tengah.

Secara riil, inflasi harga pangan melebihi inflasi keseluruhan mencapai 84% dari 163 negara berdasarkan indeks harga konsumen (IHK) pangan

Ancaman krisis pangan ini dibarengi dengan tingginya harga komoditas seperti energi di banyak negara. Hal ini menyusul banyaknya mata uang yang terdepresiasi akibat menguatnya dolar AS terhadap sejumlah nilai tukar mata uang.

Sebagai contoh, selama Februari 2022 hingga September 2022, harga minyak mentah Brent dalam dolar AS turun hampir 6%. Namun karena depresiasi mata uang, hampir 60% pasar negara berkembang pengimpor minyak dan berbagai negara berkembang ini harus menghadapi kenaikan harga minyak karena harus membeli memakai dolar AS.

Hampir 90% dari 163 negara ini juga mengalami kenaikan harga gandum yang lebih besar dampak dari kenaikan dolar AS.

Proteksionisme Perdagangan

Kondisi ini diperparah dengan tindakan proteksionisme negara-negara penghasil komoditas utama termasuk energi dan pangan.

Penetapan kebijakan pengaturan perdagangan pada pangan dan pupuk telah melonjak sejak awal perang Rusia-Ukraina dimulai.

Banyak negara secara aktif menggunakan kebijakan perdagangan untuk merespons kebutuhan beberapa komoditas penting dalam negeri ketika menghadapi potensi kekurangan pangan sejak awal pandemi Covid-19.

Pembatasan ekspor komoditas pangan utama tercatat oleh World Bank dilakukan oleh dua puluh negara dengan menerapkan 25 larangan ekspor makanan, dan delapan negara menerapkan 12 tindakan pembatasan ekspor. (Lihat tabel di bawah ini)

Tak hanya soal pangan, beberapa komoditas lain juga mengalami proteksi sebagai respons dari konflik geopolitik yang tidak hanya melibatkan Rusia-Ukraina.

Tetapi juga dua negara adi kuasa yang telah memiliki sejarah panjang tentang praktik perang dagang dan proteksionisme.

Halaman : 1 2 3 4
Advertisement
Advertisement