"Belum lagi kalau kita bicara tentang rencana pemerintah dan sektor migas untuk menaikkan produksi minyak bumi menjadi 1 juta barel per hari (bph) dan gas bumi menjadi 12 miliar kaki kubik per hari pada 2030. Juga berbagai solusi palsu berbasis batu bara yang difasilitasi oleh RUU EBET," ujar Leonard.
Semuanya itu, menurut Leonard, berpotensi melumpuhkan skenario transisi energi Indonesia secara keseluruhan. Dikhawatirkan, JETP bisa berakhir menjadi sebuah boutique project saja, tidak signifikan atau bahkan sekadar menjadi kosmetik dalam kompleksitas transisi energi Indonesia.
Tak hanya itu, Pengamat dari Arise! Indonesia, Dian Sunardi, juga mengaku kecewa dengan adanya usulan teknologi solusi palsu dalam dokumen CIPP, seperti co-firing biomassa. Pasalnya, solusi palsu terbukti tidakakan efektif dalam mengurangi emisi. Bahkan, adanya solusi palsu justru memperkaya segelintir individu-oligarki, mempromosikan privatisasi dan komodifikasi sumberdaya ekologis, dan membebaskan korporasi yang berkontribusi terhadap krisis iklim (polluters) dari tanggung jawabnya.
"Dan yang paling penting, malah akan memperparah krisis iklim dan merusak masa depan transisi energi Indonesia. Indonesia harus mengambil sikap tegas, menyatakan tidak pada solusi palsu dan mengeluarkannya dari CIPP," ujar Dian.
Koalisi CSO juga menyoroti porsi utang dan hibah dalam dana JETP. Bhima mengungkapkan, pendanaan dari negara maju (International Partners Group/IPG) sangat tidak menjunjung prinsip berkeadilan. Utamanya, Amerika Serikat yang jumlah pinjaman non-konsensionalnya sangat besar. Hal ini berarti Indonesia akan menanggung pinjaman dengan bunga pasar.