"Ini kalau dikenai lagi PPN dan segala macam, makin berat karena pajak-pajak itu akhirnya dibebankan kepada pasien, pasien harus membayar lebih. Misal pasien tidak harus dironsen tapi malah dironsen untuk mengembalikan investasi, itu mereka mengatakan di negara maju yang kapitalistik bahkan alkes tidak dikenai pajak," tambah Tulus.
Objek-objek besar pajak, menurut Tulus, harus dielaborasi secara lebih komprehensif sehingga bisa menghasilkan imbas yang lebih besar.
"Mungkin dalam konstruksi ini, jangan serta merta menggunakan rezim ekonomi finansial, tapi juga menggandeng rezim kesehatan, lingkungan, atau yang lain. Ajaklah Kemenkes, BPJS Kesehatan, karena ada penyakit-penyakit yang juga muncul karena produk-produk tidak sehat yang dikonsumsi masyarakat," terang Tulus.
Dia berpesan, pajak seharusnya dijadikan instrumen pengendali agar masyarakat Indonesia lebih sehat, seperti cukai rokok, makanan dengan kadar gula, garam, dan lemak tinggi, termasuk penggunaan plastik untuk kemasan.
"Sehingga punya dimensi lebih luas, uangnya dapat, tapi juga lebih bermanfaat. Di lapangan, takutnya satu individual terkena baik PPN dan PPh, sehingga itu nantinya bisa jadi tidak fair karena duplikasi. Kategori orang mampu ya PPh, PPN itu kepada barangnya, bukan orangnya," pungkas Tulus.
(IND)