Berikutnya, ia menuturkan pemerintah perlu menetapkan skema pembayaran iuran yang berkeadilan. “Penetapan iuran baru mesti didahului sosialisasi dan konsultasi publik. Hal ini krusial guna mengantisipasi adanya isu out of pocket ataupun peserta JKN yang beralih menjadi peserta non-aktif,” tegas Robert.
Selain itu, rencana pemberlakuan iuran baru tersebut mesti meresonansi pada kesadaran pengelola rumah sakit untuk membenahi tata kelola layanan mereka.
“Besaran iuran peserta bergantung hasil evaluasi yang dilakukan selama penerapan KRIS di tahap awal. Ombudsman Pusat dan Kantor-Kantor Perwakilan di 34 Propinsi proaktif memantau dan mengawasi sejauh mana rumah sakit mitra BPJS memanfaatkan fase transisi ke depan untuk sungguh berbenah,” tegas Robert.
Pada akhirnya, lanjut dia, KRIS harus menghadirkan tingkatan lanjut bagi perbaikan layanan kesehatan masyarakat. Pemberlakuan standar itu tidak boleh sebatas standar ruang perawatan tetapi lebih-lebih lagi standar layanan medis dan bahkan non-medis.
Keadilan akses yang menjadi inti semangat dari standarisasi tersebut tidak boleh berarti kesetaraan untuk memperoleh layanan yang buruk, tetapi kesetaraan dalam menikmati hak dan jaminan layanan kesehatan yang prima.
“KRIS tidak boleh malah menarik mundur mutu saat ini dan menurunkan standar layanan, tidak boleh adil tetapi adil dalam keburukan. Pada tingkat minimum, setiap warga dan daerah memiliki standar minimum tertentu dalam pemenuhan layanan. Keadilan sosial antar-warga dan keadilan regional antar-wilayah menjadi narasi besar yang menjadi semangat di balik pemberlakuan KRIS sebagaimana ditetapkan Perpres Nomor 59/2024 tentang Jaminan Kesehatan,” jelas dia.
(FRI)