IDXChannel - Kebijakan moneter Indonesia yang cukup ketat dinilai dapat berpotensi menggerus pertumbuhan ekonomi domestik pada sisa akhir tahun ini.
S&P Global Ratings membaca ada siklus permintaan domestik RI yang lebih lemah, ditambah pengetatan kebijakan moneter, termasuk peningkatan suku bunga BI Rate menjadi 6,25%.
Hal ini diungkapkan dalam Seminar PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) dan S&P Global Ratings bertajuk Indonesia Credit Spotlight: Credit Trends Under a New Administration.
"Untuk sisa tahun 2024, pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan lebih lambat dari trennya karena siklus permintaan domestik yang lebih lemah dan kebijakan moneter yang lebih ketat," kata Senior Economist S&P Global Ratings, Vishrut Rana di Jakarta, Rabu (15/5/2024).
Proyeksi ini, terang Vishrut, berlangsung meskipun belanja pemerintah yang kuat mampu mendukung pertumbuhan ekonomi RI pada triwulan pertama 2024.
Vishrut menilai RI justru akan memetik manfaat pertumbuhan pasca-2024, seiring peningkatan keterampilan tenaga kerja dan keuntungan investasi langsung baik dari dalam dan luar negeri.
"Sehingga menempatkan Indonesia pada jalur pertumbuhan yang stabil hingga tahun 2030," kata dia.
Direktur Sovereign Ratings S&P Global Ratings Andrew Wood menambahkan kinerja fiskal RI masih didukung oleh pertumbuhan pendapatan yan baik, ditambah keputusan belanja pemerintah yang dinilai masih hat-hati.
Andrew menilai masa transisi kepemimpinan di Indonesia akan terjadi secara mulus, sehingga dipandang tidak memberi perubahan yang signifikan. Baginya, pertumbuhan ekspor yang lebih cepat juga akan menjadi momentum RI dari sisi eksternal.
"Meskipun pendekatan pemerintahan selanjutnya terhadap kebijakan fiskal dan reformasi ekonomi, serta dinamika koalisi parlemen, akan menjadi faktor penentu yang penting atas kinerja Indonesia selama lima tahun ke depan," tutup Andrew.
(NIA)