Terkait dengan kerugian keuangan negara, sebagaimana diterangkan di persidangan oleh Direktur Perlindungan Korban Bencana Sosial Kementerian Sosial (Kemensos), Mira Riyati Kurniasih yang menjadi saksi, Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) minyak goreng yang diluncurkan pemerintah pada April 2022 tidak bisa dianggap sebagai kerugian negara karena bukan merupakan anggaran baru yang khusus dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi kelangkaan minyak goreng. BLT tersebut merupakan bagian dari program pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang dananya berasal dari APBN melalui DIPA Kemensos Tahun 2021.
"Penghitungan kerugian perekonomian negara dengan model input output (I/O) yang dilakukan oleh ahli Rimawan Pradiptyo, PhD, bukan saja tidak tepat tetapi tidak memiliki dasar hukum. Pertama, Rimawan hanya menghitung biaya tanpa memperhatikan manfaat dari kegiatan ekpor CPO, misalnya pajak ekspor dan pungutan lainnya. Kedua, Rimawan menggunakan sektor sawit sebagai input dan beberapa industri makanan sebagai output. Sementara yg dipermasalahkan adalah minyak goreng dan berdasarkan peraturan Kemendag, DMO minyak goreng tidak boleh dipergunakan oleh industri makanan," kata Maqdir.
Selain itu, lanjutnya, Rimawan juga mengakui dalam persidangan bahwa input output model tidak cocok untuk menghitung industri yang bergantung pada fluktuasi harga komoditas. Apalagi Rimawan menggunakan data 2016, yang pasti situasinya berbeda dan begitu juga terkait dengan harga yang berbeda.
"Sebagai contoh, produk sawit dan turunannya pada tahun 2016 baru 58 jenis, tetapi pada 2022 sudah mencapai 185 jenis. Dengan fakta ini seharusnya sebagai ilmuwan yang selalu bertumpu pada kebenaran, Rimawan tidak sepatutnya berpendapat ada kerugian perekonomian negara yang fantastis, apalagi disertai bumbu ada 'konsultan dan pejabat yang pasti mendapat keuntungan,'" tambah Lelyana.
Anggota tim kuasa hukum lainnya, Handika Honggowongso, menyebutkan sejumlah bukti betapa tidak akurat dan tidak tepatnya perhitungan yang dilakukan Rimawan. Salah satunya adalah Rimawan mengubah nilai kerugian perekonomian negara yang dalam BAP mencapai Rp12.312.053.298.925 (Rp12,3 triliun), menjadi Rp10.960.141.564.141,00 (Rp10,9 triliun) saat memberikan keterangan di persidangan