Said Iqbal menjelaskan buruh menolak Tapera karena beberapa alasan. Pertama, mereka tidak yakin program ini akan menjamin mereka mendapatkan rumah
"Dengan rata-rata upah Rp3,5 juta rupiah, rata rata upah ya untuk Indonesia kalau dipotong 3 persen berarti kan Rp105.000, setahun kali 12, Rp1,26 juta. Kalau sepuluh tahun cuma Rp12,6 juta, katakanlah 20 tahun dipotong iurannya hanya RP25,2 juta. Mana ada rumah harganya Rp12,6 juta sampai Rp25,2 juta," ujar dia.
Kedua, buruh mempertanyakan peruntukan potongan Tapera. Mereka khawatir uang mereka akan dikorupsi, seperti yang terjadi pada kasus Asabri dan Taspen.
"Asabri dikorupsi besar-besaran, Taspen korupsi besar-besaran. Itu dikelola oleh pemerintah oleh para menteri yang bertanggungjawab, buktinya di korupsi. Kami masyarakat sipil khususnya buruh, tidak rela uang ini dikorupsi," pungkasnya.
(FRI)