"Menurut saya di sektor EBT perlu segera didorong adanya UU EBT sehingga perencanaan dan juga arah policy dari pengembangan EBT ini menjadi lebih terarah dan juga lebih terukur," pungkasnya.
Dia menambahkan, faktor yang kedua adalah feed in tariff yang diberikan oleh pemerintah dinilai masih kurang. Menurutnya harga beli yang ditetapkan oleh pemerintah masih rendah.
"Di kami ada bahkan ditawar hingga USD5,8 sen per kWh menurut kami ini sangat jauh kalau di Eropa itu bisa masih lebih dari sekitar USD9 sen bahkan belasan sen per kWh," ungkapnya.
Kemudian faktor ketiga adalah EBT Indonesia masih sangat bergantung terhadap impor. "Ini perlu kita push melalui UU nantinya katakanlah solar panel harus diproduksi di dalam negeri, sehingga mendorong industri pembangkit EBT di Indonesia," terangnya.
Sedangkan yang keempat menurut Fathul adalah masih minim financing khusus EBT. Seharusnya, tambahnya, ada semacam green bond, perusahaan-perusahaan yang mengembangkan EBT. Yang terakhir yakni harga EBT masih belum kompetitif dibandingkan dengan harga energi fosil.
"Sebetulnya dengan krisis hari ini di mana energi fosil harganya menjadi tinggi, BBM Pertalite keekonomiannya mencapai Rp 17.000 sampai Rp19.000 per liter ini sebetulnya menjadi signal bagi pemerintah dan juga bagi pemain EBT bahwa kali ini harga EBT bisa jadi lebih murah dibandingkan dengan energi fosil," paparnya.
(FRI)