Trend Konsumsi Obat Tradisional Tinggi, Ini Alasan Herbal Sulit Berkembang

IDXChannel - Ketua Umum Gabungan Pengusaha (GP) Jamu Dwi Ranny Pertiwi Zarman mengatakan, tingginya biaya uji klinis obat herbal untuk pengajuan tanaman obat ke dalam formularium nasional atau fornas menjadi hambatan bagi para pelaku industri. Padahal tren mengonsumsi obat tradisional atau fitofarmaka semakin gencar dilakukan masyarakat.
Menurut dia, perkembangan riset yang dilakukan pemerintah terhadap bahan baku obat herbal sudah cukup baik. Hanya saja selama ini hanya sekadar riset dan tersimpan begitu saja.
"Yang dilakukan pemerintah itu belum banyak membantu industri jamu karena hanya sekadar riset dan tersimpan saja seperti itu. Akhirnya kita melakukan riset sendiri, produknya juga dari hasil riset sendiri supaya bisa beredar di masyarakat," ujarnya dalam Market Review IDX Channel, Jumat (9/4/2021).
Ranny melanjutkan, pihaknya mendorong agar pemerintah meloloskan produk fitofarmaka dalam fornas. Menurut dia, fitofarmaka memiliki efek samping yang lebih kecil dibandingkan obat generik.
Kalbe Uji Klinis Obat Herbal Covid-19
"Kami masih cukup sulit kalau regulasinya tidak diubah. Karena untuk satu fornas ada peraturan dari Kementerian Kesehatan dan itu sulit dilaksanakan untuk industri jamu," tuturnya.
Dia mencontohkan negara China yang dalam satu rumah sakit ada yang menggunakan pengobatan herbal tradisional dan juga pengobatan umum. Dia juga menyoroti kemudahan obat tradisional China yang bisa masuk dengan mudah ke rumah sakit di Indonesia.
"Masih minimnya kepercayaan dari dokter terhadap produk jamu, kecuali dibuatkan khusus fornas yang nantinya penggunanya sendiri dokter-dokter yang memakai herbal, formulanya dapat dibuat berbeda, lebih mengedepankan secara budaya," jelasnya. (TIA)