IDXChannel - Pemerintah Amerika Serikat (AS) terancam membayar ganti rugi hingga USD168 miliar atau sekitar Rp2.800 triliun jika Mahkamah Agung membatalkan kebijakan tarif resiprokal.
Hingga 5 Desember, pemerintah AS telah mengumpulkan USD259 miliar dalam pendapatan tarif.
Namun, sebuah putusan pengadilan tinggi menyatakan Trump secara tidak sah menggunakan Undang-Undang Kekuasaan Ekonomi Darurat Internasional (IEEPA) untuk memberlakukan tarif resiprokal.
"Ini dapat memaksa pemerintah untuk melakukan pengembalian dana kepada importir," kata Profesor Ekonomi Bisnis dan Kebijakan Publik Universitas Pennsylvania Kent Smetters, dilansir dari CBS News pada Minggu (21/12/2025).
Kasus ini kini dibawa ke Mahkamah Agung. Dalam persidangan perdana bulan lalu, sejumlah hakim agung mempertanyakan apakah Presiden Donald Trump memiliki wewenang hukum untuk memberlakukan pungutan luas berdasarkan IEEPA.
Beberapa hakim tampak skeptis, mencatat bahwa IEEPA tidak menyebutkan kata "tarif" dan bahwa tidak ada presiden yang pernah mengandalkan undang-undang tersebut untuk membenarkan tarif berbasis luas terhadap negara lain.
Pemerintahan Trump kemungkinan menggunakan undang-undang lain jika tarif IEEPA dibatalkan, meskipun undang-undang tersebut memiliki lebih banyak batasan, menurut para ahli hukum.
Misalnya, Pasal 232 Undang-Undang Perluasan Perdagangan tahun 1962 memungkinkan presiden AS untuk membatasi impor atas nama keamanan nasional. Pasal 301 Undang-Undang Perdagangan tahun 1974 juga memberi wewenang kepada presiden untuk menerapkan tarif berbasis negara jika Perwakilan Perdagangan AS menentukan bahwa negara lain terlibat dalam praktik perdagangan yang tidak adil.
Terlepas dari prospek pengembalian dana pemerintah yang besar bagi importir, Smetters berpendapat bahwa pembatalan tarif pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi AS.
"Tarif adalah salah satu cara yang paling tidak efisien untuk meningkatkan pendapatan," katanya kepada CBS News.
Dia menambahkan bahwa tarif membuat perusahaan kurang produktif karena mereka harus membayar lebih untuk suku cadang dan produk impor. (Wahyu Dwi Anggoro)