Ai sempat menerima cemoohan dari teman-temannya, bahkan ada yang terang-terangan tidak mau sekelas dengannya, lalu mengejek Ai bau beledag. Barang dagangannya juga pernah ditolak kantin saat ia hendak menitipkan untuk dijual.
Tidak sampai situ, guru-guru di sekolahnya pun pernah secara tidak langsung menyindir Ai yang membawa dagangan di kelas. “Mungkin guru tidak tahu ya kalau saya jualan, bilangnya ‘jangan beli beledag nanti sakit perut’, mendengar itu saya cukup down,”
Namun Ai tak pernah menyerah. Tiga tahun pertama, promosi produk hanya terjadi dari mulut ke mulut, karena saat itu media sosial belum digunakan untuk berdagang, marketplace memang sudah ada, namun penggunaannya belum merajalela ke penjuru daerah.
Pada tahun keempat dan seterusnya, barulah bisnis yang dilakoni Ai mulai berkembang pesat. Hal yang menarik, bisnisnya justru berkembang sangat pesat saat pandemi COVID-19. Jumlah karyawannya meningkat, pesanan juga mengantri.
“Saya bisa punya karyawan banyak, penghasilan banyak, itu pas COVID-19. Produksi satu hari bisa 2,3 ton. Karyawan saat itu sampai 52 orang dari yang cuma belasan, mereka itu banyak yang PHK dan balik kampung, akhirnya kerja di sini,” katanya.