Nama Pahlawan di Uang Rp200 Perak, Tokoh yang Kritis dan Anti-Kolonial
Cipto adalah seorang pribadi yang kritis dan progresif pada masanya, dan karena kritiknya yang tajam kepada pemerintahan kolonial Belanda, dia pernah diasingkan di beberapa daerah untuk membatasi gerak-geriknya dalam bersuara.
Sikapnya yang kritis itu terlihat sejak dia masih bersekolah di STOVIA, di mana Cipto diketahui tidak suka pada aturan yang berlaku di sekolahnya itu. Salah satunya adalah peraturan yang mengharuskan mahasiswa Jawa dan Sumatera non-kristen untuk memakai pakaian tradisional di lingkungan sekolah.
Bagi Cipto, aturan ini menunjukkan politik kolonial yang melestarikan budaya feodalisme. Saat itu juga, hanya pribumi berpangkat bupati yang boleh mengenakan pakaian barat. Sementara pribumi berjabatan wedana ke bawah dan tidak bekerja di pemerintahan tidak boleh memakai pakaian barat.
Cipto juga tidak suka dengan diskriminasi dan kesenjangan yang terjadi pada berbagai aspek kehidupan masyarakat saat itu, di mana terjadi pembatasan antara penduduk Eropa dengan pribumi dalam segala hal.
Mulai dari kesempatan untuk sekolah, jabatan di pemerintah, perbedaan pajak dan gaji, hingga perdagangan. Ketidaksukaannya ini dituliskannya sebagai kritik di harian De Locomotief, dan karena tulisan-tulisannya itu dia sering ditegur oleh pemerintah.