Menurut Fickar, meski para oknum pejabat tersebut dalam aksinya mengatasnamakan instansi/korporasi tempatnya bekerja, tidak serta-merta dapat membuat instansi/korporasi tersebut bisa diminta tanggung jawab, seperti halnya yang terjadi pada kasus ANTM.
"Kalau cuma orang per orang yang mengatasnamakan korporasi, itu tanggung jawab orang per orang. Tidak bisa tanggung jawabnya dibebankan kepada korporasi," tutur Fickar.
Fickar juga menjelaskan bahwa penipuan berbeda konteks dengan wanprestasi dalam perkara perdata. Dalam KUHP, penipuan diatur dalam Pasal 378, yang artinya yaitu menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu, martabat palsu dengan tipu muslihat, maupun dengan rangkaian kebohongan.
Tujuan tipu muslihat ini untuk menggerakkan orang lain agar menyerahkan barang sesuatu kepadanya atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang.
"Kalau penipuan ini sudah ada unsur tipu muslihat, dan juga mereka mencari keuntungan pribadi. Sedangkan kalau wanprestasi itu tidak ada iktikad buruk. Ini pun harus dilihat, yang dilakukan itu memang personal atau korporasi," ungkap Fickar.