Per 2014, ungkap Slamet, proporsi grafit sintetik mencapai 33%-40% dan diprediksi terus meningkat seiring dengan peningkatan kebutuhan baterai mobil listrik. Berdasarkan data yang dipublikasi oleh produsen mobil listrik Tesla, permintaan grafit alam diperkirakan meningkat setiap tahunnya sebesar 154%.
"Ini menempatkan grafit sebagai bahan galian paling diburu ke depannya. Oleh karena itu penelitian grafit sintetik perlu dilakukan untuk mengantisipasi ledakan permintaan, apalagi Indonesia tidak memiliki tambang grafit alam yang ekonomis," jelas Slamet.
Batu bara peringkat rendah di Indonesia sangat berlimpah dan potensinya cukup besar untuk dimanfaatkan sebagai prekursor karbon dalam pembuatan anoda baterai.
Ketua Tim Penelitian, Phiciato memaparkan proses pembuatan grafit sintetik secara konvensional, baik yang menggunakan minyak bumi atau batubara, harus melalui proses pada suhu ekstrim sekitar 2.000 - 3.000C. Kondisi ini sulit diterapkan secara ekonomis pada skala industri. Dengan bantuan katalis, suhu proses dapat diturunkan hingga mendekati 1.000C. Hasil pengamatan dengan X-Ray Diffraction menunjukkan grafit sintetik dapat terbentuk pada suhu 1.200?C dengan bantuan katalis berbasis Fe (Ferrum).
"Kunci keberhasilan dipengaruhi dua aspek yaitu efektivitas pembuatan mesophase dan pemilihan jenis katalis. Saat ini tim peneliti masih berfokus pada pembuatan mesophase dan ke depan akan mengembangkan katalis yang cocok dan ekonomis," ujar Phiciato.