IDXChannel – Industri hasil tembakau merupakan industri padat karya dan tenaga kerja dengan sumbangsih besar bagi penerimaan negara. Namun, di sisi lain baik produknya yang berupa rokok hingga industrinya kerap dibatasi berbagai aturan hingga dikecam agar dihilangkan.
Bicara dalam special dialogue “Kebijakan Industri Hasil Tembakau: Hidup Diganggu, Mati Tak Boleh”, sejumlah pembicara seperti Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan Nirwala Dwi Haryanto, Asisten Deputi Urusan Industri Kementerian Perindustrian Atong Soekirman dan Direktur Eksekutif INDEF Enny Sri Hartati, sepakat bahwa bahwa industri ini memberi penerimaan negara yang cukup besar dibandingkan sektor lain.
Dikatakan Nirwala, Industri Hasil Tembakau (IHT) merupakan andalan penerimaan negara dan yang bergantung kepada industri ini sangat banyak mencapai 6,1 juta orang tenaga kerja yang terserap.
“Kalau IHT ini dihapus di 2020 misalnya, terus akan dikemanakan jutaan orang ini? Jika melihat penelitiannya Drajad Wibowo, 1 persen pertumbuhan ekonomi (angka moderat) itu harus bisa membuka lapangan pekerjaan sebanyak 300 ribu orang, kalau pabrik rokok ditutup harus diberikan lapangan kerja baru, maka pertumbuhan ekonomi harus 20 persen, belum ditambah 5,4 persen pertumbuhan per tahun,” ungkap Nirwala.
Penerimaan negara dari industri mencapai Rp148 triliun, ungkap Nirwala, maka jika industri ini dihapus harus duduk bersama semua unsur dan mencari solusi penggantinya bagi penerimaan negara. “Rp1 triliun dari penerimaan itu berguna untuk 1 juta anak sekolah lewat BOS, membantu ibu melahirkan 1,5 juta orang, dan lainnya. Kalau penerimaan ini hilang maka semua sektor harus bicara dan cari solusinya,” kata Nirwala.