Dipicu Depresiasi Yen Atas USD, Bursa Asia Dibuka Bervariasi

IDXChannel- Bursa saham Asia bergerak variatif pada perdagangan Selasa pagi (5/4/2022).Berdasarkan data Investing hingga pukul 09:42 WIB, KOSPI Korea Selatan (KS11) turun -0,12% di 2.754,70, Hang Seng Hong Kong (HSI) tumbuh 0,01% di 22.502,31, dan Nikkei 225 Jepang (N225) koreksi -0,04% di 27.725.
Shanghai Composite China (SSEC) menanjak 0,94% di 3.282,72, Taiwan Weighted (TWII) anjlok -0,38% di 17.625,59. Adapun Straits Times Singapura menguat 0,33% di 3.428,22, SET Thailand naik 0,10% di 1.702,93, dan Australia ASX 200 (AXJO) menguat 0,77% di 7.571,80, sementara Indonesia Composite Index / IHSG menguat 0,01% di 7.116,49.
Pasar ekuitas di Asia tengah mencermati depresiasi Yen Jepang atas dolar Amerika Serikat yang cukup tajam. Yen sempat bergerak lebih dari level 125 per 1 dolar AS, pertama kalinya sejak Agustus 2015. Pada Selasa pagi (5/4), yen diperdagangkan di sekitar 122,5 per dolar.
Bank of Japan (BOJ) mengatakan bahwa penurunan mata uangnya dapat mengguncang ekonomi mereka mengingat pengaruh nilai tukar terhadap fundamental ekonomi dan keuangan.
"BOJ dengan hati-hati mengawasi pergerakan mata uang karena dampak besar mereka terhadap ekonomi dan harga. Sangat penting bagi nilai mata uang untuk bergerak secara stabil." kata Gubernur BOJ, Haruhiko Kuroda, dilansir Reuters, Selasa (5/4/2022).
Kuroda juga menegaskan kembali tekad BOJ untuk menjaga kebijakan moneter sangat longgar, bahkan ketika kenaikan biaya bahan bakar diperkirakan akan mendorong inflasi konsumen mendekati target 2%.
"Kami akan dengan sabar mempertahankan pelonggaran moneter yang kuat untuk mendukung ekonomi yang masih di tengah pemulihan dari dampak pandemi COVID-19," katanya, berbicara di depan parlemen dalam kesaksian setengah tahunan tentang tindakan BOJ.
Di depan parlemen, Direktur Eksekutif BOJ Shinichi Uchida mengatakan bahwa inflasi konsumen kemungkinan akan naik menjadi sekitar 2% dan bertahan di level tersebut untuk beberapa waktu, karena melonjaknya biaya energi dan efek dari pemotongan biaya telekomunikasi.
"Dorongan inflasi seperti itu dapat merugikan ekonomi dan tidak akan membantu Jepang mencapai pertumbuhan harga yang berkelanjutan," katanya.
Seperti diketahui, lonjakan harga bahan bakar dan bahan mentah, akibat perang di Ukraina, telah mendorong inflasi barang di Jepang mencetak rekor dan mendorong lebih banyak perusahaan untuk membebankan biaya yang lebih tinggi kepada barang-barang rumah tangga.
(IND)