sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Gejolak Rusia-Ukraina Bagi Pasar Global, Bagaimana Dampak ke Indonesia?

Market news editor Dinar Fitra Maghiszha
15/02/2022 11:56 WIB
Data Kamis lalu (10/2) menunjukkan indeks harga konsumen Amerika Serikat (CPI) naik 7,5% yoy pada Januari
Gejolak Rusia-Ukraina Bagi Pasar Global, Bagaimana Dampak ke Indonesia? (FOTO:MNC Media)
Gejolak Rusia-Ukraina Bagi Pasar Global, Bagaimana Dampak ke Indonesia? (FOTO:MNC Media)

IDXChannel - Adanya kenaikan harga bahan pokok dan ketegangan politik luar negeri Rusia dan Ukraina memberi kejutan bagi bursa global, baik saham, obligasi, mata uang, hingga komoditas. 

Data Kamis lalu (10/2) menunjukkan indeks harga konsumen Amerika Serikat (CPI) naik 7,5% yoy pada Januari. Ini merupakan bulan keempat berturut-turut inflasi AS berada di atas level 6%. 

Kendati dunia sedang berusaha untuk bangkit dari pandemi, eskalasai politik kedua negara tersebut menjadi batu kerikil yang mengkhawatirkan para pelaku pasar. 

"Market agak sedikit terkejut dengan perkembangan politik di Ukraina. Jadi sedikit khawatir ini akan berimbas cukup negatif," kata Equity Analyst Indo Premier Sekuritas, Mino, dalam Power Breakfast, Selasa (15/2/2022). 

Sebelumnya, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy mendesak warganya untuk mengibarkan bendera negara mereka dari atas bangunan dan menyanyikan lagu kebangsaan secara serempak pada 16 Februari. Tanggal tersebut merupakan tanggal yang oleh beberapa media Barat disebut sebagai kemungkinan awal dari invasi Rusia. 

Komentar itu memberi sentimen negatif bagi pasar global, yang dimungkinkan akan bergeser ke aset safe-haven seperti dolar, emas, dan treasuri jangka panjang. 

"Pendorong besar pasar jelas adalah ketegangan di Ukraina. Pasar dalam mode risk-off secara keseluruhan. Volatilitasnya akan naik," kata Analis Cambridge Global Payments, Karl Schamotta, dilansir Reuters, Selasa (15/2/2022). 

Ancaman konflik kedua negara itu semakin bertambah panas ketika Amerika Serikat dan negara-negara Eropa yang tergabung dalam menegaskan kembali janjinya untuk mempertahankan setiap inci wilayah NATO. 

Rusia punya andil besar dalam rantai pasokan sejumlah komoditas penting di Eropa, mulai dari gas alam, gandum, nikel, hingga batu bara. Negara Beruang Merah adalah pemasok gas terbesar di Benua Biru, apabila konflik pecah dan memaksa pipa gas berhenti, tentu akan menjadi bencana.

Ketika harga gas naik, maka perusahaan di Eropa kemungkinan akan cenderung beralih ke batu bara, di tengah upaya mereka menggencarkan pemakaian energi baru terbarukan (EBT). Sebelumnya, sejumlah perusahaan di Eropa mulai meningkatkan impor batu bara mereka. 

Berdasarkan data impor, pengangkutan batu bara ke Eropa naik 55,8% pada Januari dibandingkan tahun lalu, menjadi 10,8 juta ton. Dari angka tersebut Rusia memasok 43,2% batu bara, sementara Australia menyediakan 19,1%, sebagaimana dirangkum dalam analisa Braemar ACM dari data logistik perkapalan, dilansir Reuters, Jumat (4/2). 

Impor batubara Uni Eropa juga meningkat pada Desember 2021 sebesar 35,1% yoy menjadi 9,3 juta ton. Secara keseluruhan, pengiriman batu bara termal dari Rusia ke Eropa mengalami kenaikan, yang sebagian besar dikirim ke Jerman, Belgia dan Belanda, juga naik menjadi 31,1 juta ton, meningkat 16,2% yoy. 

Bagaimana dengan Indonesia

Mino mencermati kenaikan harga komoditas seperti batu bara, memberi dampak positif bagi sejumlah perusahaan dalam negeri. Selain 'batu hitam', Mino melihat komoditas minyak dan gas (migas) juga bakal mendapatkan angin segar. 

"Memang ada sisi positifnya terkait ketegangan politik Rusia-Ukraina, itu membuat harga minyak naik, tentunya batu bara sebagai salah satu substitusinya ikut terkerek harganya, bahkan kemarin sempat menyentuh USD245 per ton, itu angka yang cukup tinggi, hanya sedikit berbeda dibandingkan angka tahun lalu di USD270 per ton," tutur Mino. 

Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tampaknya mendapat durian runtuh ketika sejumlah negara di Eropa mulai beralih ke batu bara saat harga gas alam meningkat. 

"Sebagian besar negara-negara Eropa beralih ke batubara demi memenuhi pembangkit listrik," kata Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM, Agung Pribadi, dalam keterangannya, Selasa (8/2/2022).

(SANDY)

Halaman : 1 2 3 4
Advertisement
Advertisement