Kontradiksi Agenda Net-Zero Carbon
Sektor batu bara di Asia tengah berjuang dalam perubahan zaman menuju net-zero carbon. Mengutip Reuters, sektor batu bara tetap merupakan bagian dari bauran energi selama beberapa dekade mendatang.
Pada pertemuan industri batu bara terbesar, yakni Coaltrans Asia Conference yang diselenggarakan di Bali, Indonesia pada 24-26 September 2023, para pelaku usaha dibidang energi ini tetap optimis pada prospek harga batu bara.
Industri batu bara masih meyakini energi terbarukan tidak bisa dimanfaatkan dengan cepat, murah, dan dalam skala yang cukup untuk menyaingi bahan bakar fosil dari bauran energi Asia.
“Kenyataannya adalah permintaan batubara akan terus meningkat,” Septian Hario Seto, Deputi Investasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, mengatakan pada konferensi tersebut dikutip Reuters (27/9).
Meskipun batu bara termal memang mendapat ancaman dari gas alam, namun pandangan pelaku pasar, mulai dari penambang, trader, pengguna, dan pejabat pemerintah, berpendapat bahwa batu bara tetap menjadi alternatif yang lebih murah dan aman.
Terdapat juga kesadaran bahwa transisi energi memiliki arti yang sangat berbeda di berbagai wilayah dan negara.
Sebagian besar negara-negara Eropa contohnya, dengan terjadinya lonjakan harga bahan bakar fosil dan kekhawatiran atas keamanan pasokan akibat invasi Rusia ke Ukraina menjadi pendorong untuk mempercepat peralihan ke energi terbarukan.
Model Asia untuk mencapai net-zero kemungkinan besar akan terlihat sangat berbeda dengan apa yang diupayakan di negara-negara maju.
Kesamaan yang mereka miliki adalah peralihan ke penggunaan listrik sebanyak mungkin untuk transportasi, industri dan perumahan.
Namun Asia masih menggunakan tenaga batu bara untuk meningkatkan elektrifikasinya. Setidaknya hasil karbon batu bara masih dianggap yang lebih baik dibandingkan terus menggunakan minyak dan gas.
Daya tarik batu bara adalah meskipun harga saat ini tinggi menurut standar historis, harga batu bara masih jauh lebih murah dibandingkan minyak mentah dan gas.
Geopolitik juga merupakan salah satu faktornya, dan importir energi Asia semakin waspada terhadap pengaruh OPEC+, dan ingin beralih dari ketergantungan pada bahan bakar yang harganya dimonopoli oleh negara-negara produsen.
Bahkan China, India, dan india saat ini sedang membangun 89 persen pembangkit listrik tenaga batu bara, menurut data dari Global Energy Monitor.
Meskipun ketiga negara ini juga mengembangkan energi terbarukan, fakta bahwa mereka meningkatkan penggunaan batu bara menunjukkan betapa berbedanya pandangan mereka terhadap transisi energi. (ADF)