Prospek inilah yang mendorong harga minyak terus naik, menurut analis dan pendiri Commodity Context Rory Johnston. “Konsensus pasar mulai terbentuk bahwa AS akan terlibat dalam satu dan lain cara,” ujarnya, dikutip Reuters.
Iran adalah produsen minyak terbesar ketiga di antara negara anggota OPEC, dengan produksi sekitar 3,3 juta barel minyak mentah per hari. Sekitar 18 juta hingga 21 juta barel per hari minyak dan produk turunannya melintasi Selat Hormuz di pesisir selatan Iran, sehingga kekhawatiran akan terganggunya arus perdagangan kian meluas.
Analis RBC Capital Helima Croft berpendapat, risiko gangguan besar terhadap pasokan energi bisa meningkat jika Iran merasa terancam secara eksistensial. Keterlibatan AS dalam konflik ini bisa memicu serangan langsung terhadap kapal tanker dan infrastruktur energi.
JP Morgan menyebut dalam skenario ekstrem, jika konflik melebar ke kawasan dan Selat Hormuz ditutup, harga minyak bisa melonjak ke USD120 hingga USD130 per barel.
Sementara itu, Goldman Sachs pada Rabu menyatakan bahwa premi risiko geopolitik sekitar USD10 per barel dinilai wajar, mengingat berkurangnya pasokan dari Iran dan potensi gangguan yang lebih luas yang bisa mendorong Brent di atas USD90.