Menurut para analis di Morgan Stanley, beberapa pihak menyoroti pergerakan harga saham yang tajam pada peningkatan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS alias US Treasury baru-baru ini, yang telah memperketat kondisi keuangan yang menyeluruh akibat kenaikan suku bunga sekitar 0,75 poin persentase sejak pertemuan bank sentral AS (Federal Reserve) The Fed pada akhir September lalu.
Pengetatan agresif bank sentral perlahan mulai memberatkan perusahaan-perusahaan yang berutang melalui biaya pembayaran utang yang lebih tinggi, sebuah fenomena yang menyebabkan Bank of England (BOE) memberikan peringatan pada Agustus tentang adanya gelombang gagal bayar korporasi yang semakin dekat.
"Dengan suku bunga yang lebih tinggi, pasar menjadi lebih sensitif terhadap melesetnya ekspektasi dibandingkan dengan tingkat suku bunga yang lebih rendah," ujar Sharon Bell, pakar strategi ekuitas Eropa di Goldman Sachs, dikutip Financial Times, Jumat (27/10/2023).
Manish Kabra, kepala strategi ekuitas AS di Société Générale, mengatakan, perusahaan-perusahaan yang meleset dari ekspektasi pendapatan akan dihukum lebih keras jika mereka melaporkan bahwa pasar saham secara umum sedang mengalami penurunan.
Jim Tierney, kepala investasi di AllianceBernstein menuturkan, investor harus waspada terhadap perusahaan-perusahaan mana yang akan mengecewakan. “Era uang bebas, ditambah dengan berbagai pembayaran stimulus di AS, menciptakan nirwana [surga] bagi para pemberi kredit. Sekarang pendulum telah berayun ke arah lain dan akan ada konsekuensinya," tambahnya. (ADF)