Fanny mencontohkan, pada krisis keuangan 2008, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat terkoreksi 58 persen dari posisi tertingginya. Namun kembali naik 77 persen dalam enam bulan dan 113 persen dalam 12 bulan setelah mencapai titik terendah.
Hal serupa terjadi pada saat taper-tantrum 2013 dan pandemi Covid-19.
Dia menambahkan, strategi jangka panjang tetap layak dipertahankan karena berlandaskan pada tiga hal utama yakni kekuatan fundamental emiten, konsistensi dan diversifikasi, serta pemanfaatan momentum saat volatilitas pasar meningkat.
“Harga saham dalam jangka pendek memang sangat dipengaruhi oleh sentimen pasar. Namun untuk jangka panjang, faktor utama yang menentukan arah kinerja saham adalah kualitas bisnis perusahaan itu sendiri,” tutur Fanny.
Menurutnya, investor perlu fokus pada pertumbuhan laba, efisiensi operasional, prospek bisnis ke depan, serta posisi daya saing perusahaan dibandingkan kompetitor sejenis.
Selain itu, Fanny menekankan pentingnya strategi dollar-cost averaging sebagai salah satu metode agar investor tetap konsisten, bahkan di tengah kondisi pasar yang tidak pasti.