IDXChannel—Bursa Efek Indonesia telah berdiri sejak masa pendudukan Hindia Belanda, selama beberapa dekade setelahnya pasar modal di tanah air melewati peristiwa-peristiwa penting dalam tonggak sejarah.
Sepanjang milestone berdirinya, bursa efek pernah beberapa kali tidak aktif karena pengaruh eksternal dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia saat itu. Pertama, saat perang dunia pertama meletus, sehingga perdagangan saham di Indonesia terhenti pada periode 1914-1918.
Peperangan yang terjadi antara Sekutu dan Blok Sentral ini terjadi di beberapa wilayah di Eropa, Timur Tengah, Afrika, negara-negara Pasifik, dan sebagian Asia. Bursa efek di Indonesia yang saat itu diramaikan mayoritas oleh orang-orang Belanda dan Eropa kaya raya, mau tidak mau ikut terdampak.
Bursa efek kembali aktif akhirnya pada 1925, namun dengan membuka dua bursa efek baru, yakni Bursa Efek Surabaya dan Bursa Efek Semarang. Namun lagi-lagi, masa aktif ini tidak berlangsung lama.
Sebab empat tahun kemudian, resesi ekonomi melanda dan perang dunia kedua meletus. Stabilitas ekonomi para investor dan negara asalnya kembali terguncang akibat perang, sehingga akhirnya perdagangan saham kembali terhenti dan dua bursa efek baru ini kembali tutup.
Pada 1940, Bursa Efek Jakarta menyusul tutup. Hampir satu dekade bursa efek di Indonesia tak aktif karena situasi dunia yang tidak stabil, perang dunia ke-2 memantik efek beruntun yang akhirnya membawa Indonesia pada masa kemerdekaannya dari dua kependudukan sekaligus, yakni dari Hindia Belanda dan Jepang.
Beberapa tahun setelah Indonesia merdeka, Presiden Soekarno membuka kembali bursa efek di Jakarta. Namun lagi-lagi, untuk ketiga kalinya pembukaan ini tak berlangsung lama, sebab pemerintah melangsungkan program nasionalisasi perusahaan Belanda pasca kemerdekaan.
Program nasionalisasi ini berlangsung sejak 1956 sampai dengan 1977, dan mengakibatkan bursa efek semakin vakum. Pembukaan bursa efek pada era Soekarno bertujuan untuk menampung obligasi pemerintah yang dikeluarkan pada tahun sebelumnya dan obligasi perusahaan Belanda.
Saat itu kepengurusannya diserahkan kepada perserikatan perdagangan uang yang terdiri dari tiga bank besar dan Bank Indonesia. Sebelum program nasionalisasi dimulai, penjualan obligasi sangat meningkat saat itu, sehingga memicu konflik kekuasaan antara Indonesia dan Belanda tentang Irian Barat.
Konflik ini membuat efek perusahaan Belanda tidak diperdagangkan di Bursa Efek Jakarta. Namun, buntut dari persoalan ini akhirnya membawa Indonesia pada momentum di mana semua perusahaan Belanda akhirnya dinasionalisasikan lewat Undang-Undang No. 86 Tahun 1958.
Usai vakum selama beberapa tahun karena program nasionalisasi itu, Bursa Efek Jakarta kembali diaktifkan pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto. BEJ kembali aktif di bawah Bapepam (Badan Pelaksana Pasar Modal).
Pembukaan kembali BEJ saat itu ditandai dengan penawaran saham perdana emiten pertama di Indonesia, yakni PT Semen Cibinong, pada 1977.
Itulah sekilas kisah tentang bursa efek di Indonesia yang melewati beberapa kali masa tidak aktif sebelum dan sesudah kemerdekaan. (NKK)