Saat ini, KAEF diketahui memiliki 10 pabrik obat yang tersebar di wilayah Indonesia. Pabrik Sinkona (Subang), Pabrik Banjaran (Bandung), pabrik Marin Liza (Bandung), pabrik Lucas Djaja (Bandung), Pabrik Sungwun (Cikarang), pabrik Phapros (Semarang), pabrik Watudakon (Jombang), dan 3 pabrik lainnya yang berlokasi di Jakarta, Semarang, dan Bali.
"Jadi secara teknis, KAEF harus tentukan pabrik-pabrik mana saya yang masih bisa dioptimalkan kapasitasnya. Lalu pindahkan fasilitas produksi dari pabrik-pabrik yang tidak optimal ke pabrik yang mau dipertahankan tadi. Artinya, suka atau tidak, memang harus ada (pabrik) yang ditutup untuk efisiensi," tutur Harris.
Masalahnya, dalam industri farmasi, upaya pemindahan fasilitas produksi baru bisa dilakukan dengan perizinan yang sangat ketat. Guna melakukannya, KAEF harus mengurus izin ke berbagai pihak, seperti BPPOM, Kementerian Industri, Kementerian Kesehatan, dan lembaga-lembaga regulator lainnya.
"Untuk semua perizinan tersebut, mengurusnya tentu perlu waktu. Butuh waktu dua sampai tiga tahun untuk prosesnya, sehingga kinerja KAEF ke depan bisa lebih maksimal," ungkap Harris.
Namun demikian, effort besar dan waktu yang lama tersebut menurut Harris sangat layak bila dibandingkan dengan potensi pasar farmasi di Tanah Air yang diyakininya masih sangat prospektif.