"Kami melihat, pendapatan dari penerbangan umrah dan haji akan meningkat di tahun depan seiring dengan pulihnya ekonomi pasca pandemi Covid-19, antusiasme umat muslim melaksanakan ibadah, dan peningkatan frekuensi penerbangan umrah dan ruang kenaikan tarif haji di 2024," papar dia.
Sarkia membahas mengenai Kementerian BUMN yang berencana untuk menggabungkan Citilink dan Pelita Air Service, anak usaha Pertamina. Namun, rencana ini masih menjadi pertimbangan karena terdapat opsi lain, yaitu menyatukan maskapai milik negara menjadi satu di bawah naungan InJourney atau BUMN Holding Industri Aviasi dan Pariwisata yakni PT Aviasi Pariwisata Indonesia (Persero).
"Jika penggabungan Citilink dan Pelita Air terjadi, kami melihat dampaknya mungkin tidak begitu signifikan bagi Garuda secara konsolidasi. Meskipun Pelita lebih kuat secara finansial, namun pangsa pasarnya di dalam negeri masih kecil, sekitar 1%, dan fokusnya hanya pada pasar domestik," papar dia.
Kinerja di sembilan bulan 2023 masih mencatat rugi, namun EBITDA positif. GIAA mencatatkan pendapatan sebesar USD837 juta di kuartal III tahun lalu (+5,6% QoQ; +33,6% YoY) yang membawa pendapatan perseroan menjadi USD2,2 triliun hingga September 2023 (+48,3% YoY).
Posisi EBITDA perseroan saat ini sudah membaik di level USD254 juta di 3Q23 (3Q22: USD148 juta) yang membawa EBITDA perseroan ke USD616 juta (-0,7% YoY) di sembilan bulan 2023 yang disebabkan oleh adanya kenaikan biaya operasional.
Meskipun demikian, secara bottom-line perseroan masih tertekan, tercatat rugi sebesar USD4 juta di kuartal III-2023 (-112,8% QoQ; -93% YoY) dan membawa rugi bersih perseroan ke USD72 juta di sembilan bulan, di mana gap yang besar disebabkan adanya keuntungan dari restrukturisasi di 2022.
"Kami masih melihat outlook NEUTRAL untuk industri penerbangan" terang Sarkia.