Indeks Nikkei 225 Jepang ambles 2,28 persen, Hang Seng Hong Kong tumbang 0,78 persen, Straits Times Singapura merosot 1,43 persen dan ASX 200 Australia turun 0,77 persen.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga ditutup ambruk 0,78 persen. Sementara indeks KOSPI di Korea Selatan turun paling dalam hingga 2,41 persen.
Pada perdagangan Selasa (3/10), Wall Street ditutup dengan indeks S&P 500 berakhir pada level terendah sejak 1 Juni lalu.
Mengutip Reuters, Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 438,96 poin, atau 1,31 persen. Sementara S&P 500 kehilangan 58,15 poin, atau turun 1,85 persen. Indeks Nasdaq Composite juga turun 246,5 poin, atau 1,85 persen.
Sepanjang tahun ini, kinerja Dow Jones berubah negatif untuk pertama kalinya sejak Juni dan berakhir pada level terendah sejak 31 Mei. Kinerja Dow Jones melemah 0,4 persen secara year to date (YTD) sementara Nasdaq juga ditutup pada level terendah sejak 31 Mei.
Melemahnya bura Asia bisa jadi disebabkan asing yang melakukan aksi jual di tengah penguatan dolar. Bisa jadi, terjadi perpindahan investasi ke obligasi hingga dolar mengingat dua instrumen ini dianggap sebagai safe-haven.
- Cadangan Devisa Turun
Cadangan devisa adalah salah satu aspek penting dalam sektor keuangan negara. Cadangan devisa menjadi wajah kondisi perekonomian suatu negara.
Mengutip OCBC NISP, berdasarkan peraturan Undang-undang (UU) nomor 23 tahun 1999, cadangan devisa adalah aset yang dimiliki oleh bank sentral dan otoritas moneter, biasanya disimpan dalam mata uang asing.
Umumnya, mata uang dalam cadangan devisa adalah yang diakui oleh banyak negara dan berlaku secara internasional, seperti euro, dollar AS, yen, dan pound sterling.
Dengan demikian, cadangan devisa suatu negara akan digunakan untuk membiayai defisit neraca pembayaran serta menjaga stabilitas nilai tukarnya.
Cadangan devisa negara diperoleh dari kegiatan perdagangan antar negara yang dikenal dengan kegiatan ekspor dan impor. Penurunan kegiatan perdagangan, berarti juga akan berdampak pada penurunan posisi cadangan devisa.
Sayangnya, posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Agustus 2023 turun di level USD137,1 miliar. (Lihat grafik di bawah ini.)
Pelemahan cadangan devisa ini bisa berdampak negatif terhadap rupiah karena kemampuan BI dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah akan dianggap semakin berkurang.
“Penurunan posisi cadangan devisa tersebut antara lain dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar Rupiah sejalan dengan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global”ujar BI dalam rilisnya.
Posisi cadangan devisa Agustus 2023 setara dengan pembiayaan 6,2 bulan impor atau 6,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Angka ini juga disebut berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Sejumlah risiko dari menguatnya dolar dan melemahnya rupiah di atas kini menjadi sinyal peringatan bagi pemerintah Indonesia untuk segera mengambil langkah tegas.
Menakar Respons Bank Sentral
Merespon volatilias pasar keuangan baru-baru ini, Bank Indonesia tengah berupaya menjaga stabilitas harga dengan kenaikan suku bunga.
Pernyataan ini menandakan kebijakan suku bunga akan dipertahankan stabil pada akhir bulan ini karena bank sentral tengah mencoba untuk meningkatkan kepercayaan investor pada pasar mata uang dan obligasi.
Hal ini disampaikan Destry Damayanti Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia di Jakarta pada Rabu (4/10).
Pernyataan tersebut muncul ketika BI tengah berupaya membeli obligasi pemerintah dalam upaya membendung aksi jual di pasar utang dan demi menjaga mata uang rupiah.
Destry menekankan, ini adalah operasi pembelian obligasi pertama yang dilakukan BI sejak 2022 di tengah kegelisahan di kalangan pejabat mengenai guncangan di pasar dii tengah rupiah yang terus melemah.
“Kami sudah menaikkan (suku bunga) sebesar 225 basis poin. Dan angka ini kami pandang cukup untuk menjaga stabilitas saat ini, stabilitas inflasi, dan di sisi lain cukup untuk memacu pertumbuhan penyaluran kredit,” kata Destry, dikutip dari Reuters, Rabu (4/10).
Destry mengatakan volatilitas pasar saat ini disebabkan oleh faktor eksternal, khususnya komentar hawkish pejabat bank sentral AS, The Federal Reserve.
Menurut perkiraan Lotus Sekuritas, pasar mengekspektasikan potensi kenaikan The Fed, dan Bank Indonesia memperkirakan kenaikan Fed Fund Rate (FFR) akan terjadi sekali lagi pada November 2023.
Hal tersebut memberikan ruang bagi BI untuk menaikkan suku bunga acuannya 25 basis poin lagi pada pertemuan mendatang.
BI akan mengadakan pertemuan kebijakan moneter selama dua hari pada tanggal 18-19 Oktober mendatang. (ADF)