Abdullah menerangkan, teknologi peleburan timah yang dimiliki TINS saat ini, yakni Tanur Reverberatory tidak mempunyai fleksibilitas mengolah konsentrat bijih timah kadar rendah (< 70% Sn). Selain itu, membutuhkan waktu yang relatif lebih lama untuk melebur timah dan terak.
Tanur Reverberatory menggunakan bahan bakar minyak (marine fuel oil) dengan reduktor batu bara jenis antrasit yang lebih banyak dan membutuhkan biaya yang relatif besar.
Dengan adanya TSL Ausmelt Furnace, perseroan mengharapkan mampu mengolah konsentrat bijih timah dengan kadar rendah mulai dari 40% Sn, dengan kapasitas produksi 40.000 ton crude tin per tahun atau 35.000 metrik ton ingot per tahun.
"Dengan beroperasinya Ausmelt dapat menekan cost pengolahan sebesar 25 persen dibandingkan dengan menggunakan Reverberatory furnace," terang Abdullah.
Selain itu, dari sisi pengoperasian TSL Ausmelt Furnace dilakukan dengan proses otomasi dengan sistem kontrol. Untuk bahan bakar dan reduktor, TSL Ausmelt menggunakan batu bara jenis Sub-Bituminus yang cenderung lebih mudah didapatkan di Indonesia.