Dengan kondisi yang ada saat ini, menurut Oktavianus, kekhawatiran pasar tidak hanya bertumpu pada peluang bakal terjadinya perlambatan ekonomi global, yang menjadikan dolar AS sebagai salah satu safe haven assets yang banyak diburu, sehingga melemahkan nilai tukar rupiah.
Di luar itu, kekhawatiran pasar juga merebak seiring munculnya risiko penurunan surplus dagang Indonesia, yang timbul akibat pelemahan kinerja ekspor di sejumlah sektor industri yang selama ini menjadikan AS sebagai salah satu pasar utamanya.
"Surplus perdagangan Indonesia dengan AS yang pada 2024 lalu mencapai USD16,84 miliar, atau setara dengan 54 persen dari total surplus yang ada, kini berpotensi tergerus akibat kebijakan proteksionis Trump tersebut," ujar Oktavianus.
Di lain pihak, tren pelemahan yang sudah mulai terjadi di sejumlah indeks regional juga berpotensi menimbulkan sentimen negatif, yang berpeluang menjadi tekanan sendiri bagi pelaku pasar.
"Nikkei terkoreksi 3,07 persen, indeks HNX Vietnam anjlok 6,91 persen, bahkan kontrak berjangka US500 juga turun hingga 2,8 persen. Ini tentu jadi tekanan tersendiri," ujar Oktavianus.