IDXChannel - Pemangkasan suku bunga acuan oleh Federal Reserve (The Fed) Amerika Serikat (AS) membuka peluang arus likuiditas global mengalir ke negara berkembang (emerging market/EM), termasuk Indonesia.
Analis menilai langkah ini bisa menjadi angin segar bagi pasar saham dan rupiah, meski Ketua The Fed Jerome Powell tetap berhati-hati memberi sinyal lanjutan pelonggaran moneter.
Analis Trimegah Sekuritas Kharel Devin Fielim menilai pemangkasan suku bunga oleh The Fed berpotensi membawa dampak positif bagi pasar saham Indonesia.
Menurut dia, arus likuiditas global bisa mulai mengalir ke negara berkembang, termasuk Indonesia.
“Liquidity bisa ke Indonesia. Tandanya bunga deposito AS turun, mencari alternatif yang lebih tinggi, yang mana dari emerging market,” katanya, Kamis (30/10/2025).
Kharel menambahkan, pelemahan dolar AS juga bisa memperkuat daya tarik aset berbasis komoditas. “Ketika USD turun, mereka hedging ke commodity. Itu yang punya commodity kan Indonesia. Jadi benefit ini,” imbuh dia.
Sementara itu, pengamat pasar modal Michael Yeoh menilai keputusan The Fed memangkas suku bunga akan membuka peluang positif bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
“Suku bunga AS yang dipangkas tentunya akan memberikan ruang gerak yang semakin baik untuk rupiah dan negara-negara emerging market,” tutur Michael, Kamis (30/10).
Michael menjelaskan, kebijakan tersebut juga memberi kelonggaran bagi bank sentral di negara berkembang untuk menyesuaikan arah moneternya.
“Karena artinya, bank sentral di negara EM bisa memiliki ruang lebih lega untuk kebijakan moneternya. Gap antara suku bunga AS dan EM akan menjadi lebih kecil,” demikian katanya.
Michael juga menyoroti pergerakan teknikal Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang menurutnya menunjukkan sinyal penguatan lanjutan.
Ia menjelaskan, “Rejection IHSG di level 8.000 kuat. Sudah terjadi beberapa kali hammer yang mengindikasikan akan ada pengujian kembali ke level all-time high (ATH) di 8.350.”
Dari pasar saham, IHSG menguat tipis 0,08 persen ke level 8.172,86 hingga penutupan sesi I perdagangan Kamis (30/10). Indeks acuan tersebut naik 1,39 persen dalam sebulan terakhir dan melesat 15,44 persen sepanjang 2025 (year-to-date/YtD).
Pangkas Suku Bunga, Powell Tetap Waspada
Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Fed, kembali menurunkan suku bunga acuannya pada pertemuan Rabu (29/10/2025), menandai pemangkasan kedua secara beruntun.
Namun, Ketua The Fed Jerome Powell memberi sinyal bahwa penurunan suku bunga berikutnya belum tentu terjadi dalam waktu dekat.
Dalam konferensi pers usai rapat kebijakan, dikutip Wall Street Journal (WSJ), Powell menegaskan bahwa ekspektasi pasar terhadap kemungkinan pemangkasan suku bunga lagi pada Desember tidak sepenuhnya tepat.
“Jauh dari pasti,” ujarnya menepis anggapan bahwa The Fed sudah pasti akan melanjutkan pelonggaran moneter.
Keputusan kali ini memangkas suku bunga acuan sebesar seperempat poin persentase ke kisaran 3,75-4 persen, level terendah dalam tiga tahun terakhir. Pemangkasan ini dilakukan untuk mencegah perlambatan perekrutan tenaga kerja berubah menjadi perlambatan ekonomi yang lebih dalam.
Namun, Powell mengakui bahwa fase mudah dalam proses normalisasi kebijakan moneter sudah berlalu. Ia juga menyebut adanya “semakin banyak suara” di dalam komite yang mulai mempertanyakan perlunya pemangkasan tambahan.
Situasi semakin rumit akibat penutupan sebagian pemerintahan AS, yang membuat sejumlah data ekonomi resmi tidak tersedia. Powell menyebut kondisi itu bisa menjadi alasan bagi The Fed untuk lebih berhati-hati mengambil keputusan.
Powell mengatakan, jika ketidakpastian ekonomi terlalu tinggi akibat kekurangan data, itu bisa menjadi argumen untuk bersikap lebih hati-hati.
Pemangkasan suku bunga tersebut disetujui dengan suara 10 banding 2. Presiden The Fed Kansas City, Jeffrey Schmid, menolak keputusan karena menginginkan suku bunga tetap, sedangkan Gubernur The Fed Stephen Miran justru mendukung pemangkasan yang lebih besar, yakni setengah poin persentase.
Selain itu, The Fed juga sepakat menghentikan program penyusutan neraca aset senilai USD6,6 triliun mulai 1 Desember 2025, setelah lebih dari tiga tahun berupaya mengurangi stimulus pandemi secara bertahap.
Pasar saham Wall Street bereaksi bervariasi. Indeks Dow Jones turun 0,2 persen, S&P 500 nyaris mendatar dengan pelemahan 0,3 poin, sedangkan Nasdaq Composite naik 0,5 persen ke rekor tertinggi baru.
Imbal hasil obligasi AS tenor dua tahun—yang sensitif terhadap kebijakan The Fed—melonjak 9,2 basis poin ke 3,585 persen, kenaikan harian terbesar sejak awal Juli.
Powell menegaskan, keputusan berikutnya akan sangat bergantung pada data dan perkembangan ekonomi ke depan.
“Pandangan di dalam komite sangat beragam soal arah kebijakan Desember mendatang,” katanya. (Aldo Fernando)