"Banyaknya jumlah peraturan menteri yang diterbitkan dalam kurun waktu yang relatif sangat singkat untuk mengendalikan permasalahan minyak goreng, namun tidak mampu mengatasi permasalahan minyak goreng yang dihadapi dalam waktu cepat. Sehingga menimbulkan kerugian pelaku usaha dan masyarakat," katanya.
Pernyataan Yeka kala itu tentu tak berlebihan bila melihat fakta yang terjadi saat ini. Dimana, para pengusaha yang sejatinya hanya melaksanakan kebijakan yang dibuat pemerintah, kini malah menjadi tersangka dan berurusan dengan meja hijau.
Ombudsman juga menyoroti tidak efektifnya implementasi penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng. Ombudsman RI menemukan bahwa HET minyak goreng tidak berjalan di beberapa wilayah di Indonesia. HET minyak goreng curah tidak tercapai karena distribusi belum merata ke seluruh wilayah Indonesia.
Maklum saja, Indonesia merupakan negara kepulauan yang masing-masing wilayahnya memiliki kompleksitas permasalahan pemenuhan kebutuhan dasar yang berbeda. Sehingga, tak mengherankan bila kerap dijumpai disparitas harga komoditas antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Dengan demikian, kebijakan yang diberlakukan juga harusnya tak main pukul rata.
Terpisah, Ahli Hukum Pidana UNPAD, Nella Sumika Putri mengatakan, sebelum lebih jauh memproses perkara tersebut, ada baiknya pemangku kebijakan menjelaskan secara gamblang batasan tindakan mana yang dilakukan tiga perusahaan sawit tersebut yang dianggap pelanggaran.