Legacy Presiden AS Joe Biden
Sejak dimulainya agresi militer Rusia di Ukraina pada Februari 2022, Biden telah memosisikan dirinya sebagai pendukung utama Ukraina. Biden turut memberikan landasan kebijakan pro-Ukraina yang kuat, termasuk aliansi transatlantik yang erat, sanksi berat terhadap Rusia, dan komitmen besar untuk menyediakan bantuan militer dan ekonomi.
Jika kebijakan ini dihentikan di bawah Trump, Ukraina akan menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan momentum perlawanan. Namun, jika Trump hanya memperlambat bantuan tanpa benar-benar menghentikannya, dampaknya mungkin lebih terbatas.
Legacy Biden juga dapat menciptakan tekanan politik bagi Trump untuk tetap mendukung NATO, meskipun dengan cara yang lebih pragmatis. Negara-negara Eropa seperti Inggris, Jerman, dan Prancis kemungkinan akan mencoba mengisi celah yang ditinggalkan AS.
Dampak peningkatan serangan Ukraina ke wilayah Rusia
Sejak 2024, Ukraina semakin aktif melancarkan serangan ke wilayah dalam Rusia, termasuk infrastruktur militer, pangkalan udara, dan depot logistik. Penggunaan rudal jarak jauh (seperti ATACMS atau sistem serupa) yang didukung AS memberikan Ukraina kemampuan strategis untuk menyerang jauh di belakang garis musuh.
Peningkatan serangan Ukraina ke wilayah Rusia dengan rudal jarak jauh menandakan eskalasi konflik yang signifikan. Meskipun hal ini meningkatkan tekanan terhadap Rusia, langkah tersebut juga membawa risiko respons yang lebih keras, termasuk kemungkinan penggunaan senjata nuklir taktis. Namun, faktor strategis seperti isolasi internasional, ancaman balasan dari NATO, dan ketergantungan Rusia pada sekutu-sekutu non-Barat membuat kemungkinan penggunaan nuklir tetap rendah, meskipun risiko tersebut tidak dapat diabaikan sepenuhnya.
Dalam setahun ke depan, situasi ini akan sangat bergantung pada efektivitas serangan Ukraina dalam melemahkan kapasitas militer Rusia; kemampuan Rusia untuk mengelola eskalasi tanpa melibatkan senjata pemusnah massal, dan; konsistensi dukungan Barat, yang menjadi kunci bagi Ukraina untuk mempertahankan momentum militernya.
Skenario yang paling mungkin adalah konflik tetap berada dalam kerangka perang konvensional. Artinya, akan ada eskalasi intensitas pertempuran namun tanpa melibatkan penggunaan senjata nuklir. Akan tetapi, risiko ini bakal terus meningkat jika Rusia menghadapi kerugian strategis besar atau ancaman langsung terhadap eksistensi rezimnya.