Selain itu, kata Said para buruh juga mempermasalahkan perubahan mandatory spending menjadi money follow program.
Jika mandatory spending, maka seluruh biaya ditanggung oleh BPJS. Tetapi jika money follow program akan terjadi co-sharing atau urun bayar antara pasien dengan BPJS Kesehatan.
“Kalau sekarang semua dibiayai oleh BPJS. Tetapi dengan UU Kesehatan, ada urunan bayar. Missal, operasi jantung biayanya 100 juta. Bisa jadi pasien diminta membayar Rp50 juta sedangkan Rp50 jutaan dibayar BPJS. Ini akan merusak sistem jaminan sosial,” pungkas Said Iqbal.
(SLF)